Oleh Hamidulloh Ibda
Peneliti Ekonomi pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, 2 September 2014
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan pasangan Joko Widodo
(Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) sebagai pemenang Pemilihan Presiden 2014. Mereka tak
bolah terlena dengan kemenangan itu, karena masih banyak tugas berat menanti.
Masyarakat Indonesia menanti langkah ekonomi revolusioner dari presiden dan
wakil presiden terpilih tersebut.
Republik ini masih dirundung nestapa karena utang luar negeri (ULN)
makin meningkat. Sepanjang 2009 hinggap September 2013 ULN pemerintah Indonesia
melonjak hingga 50 persen. Pada 2009, posisi utang Indonesia Rp. 1.590 triliun
naik menjadi Rp. 2.200 triliun pada 2013 (Tempo.co, 1/6/2014).
Bank Indonesia (BI) merillis posisi ULN Indonesia hingga 2014 sebesar
US$ 284,9, meningkat US$ 8,6 miliar atau 3,1 persen dibandingkan dengan posisi
akhir triwulan I-2014 sebesar USD 276,3 miliar (Kompas, 20/8/2014). Selain
masalah ULN, warisan baru Jokowi-JK adalah kelangkaan produk listrik pada 2015,
tingginya impor produk perikanan dan pertanian serta nilai tukar rupiah yang
makin terpuruk.
Pekerjaan berat lainnya adalah Jokowi-JK harus mampu menerapkan
substansi visi-misinya dengan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN)
2015. Apalagi Presiden SBY sudah membacakan pidato nota keuangan negara dan
APBN 2015. Jika Jokowi-JK tak terlibat dan menyinergikan visi-misi dengan
penyusunan APBN 2015, maka hal itu akan menjadi kesulitan mereka untuk mengimplementasikan
visi-misi di sektor ekonomi.
Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah pada 2025 harus
diwujudkan. Untuk mencapai target itu harus ada pembangunan infrastruktur
dengan nilai investasi 5.400 triliun rupiah, sementara Indonesia hanya memiliki
anggaran 1.200 triliun rupiah atau 20 persen dari total kebutuhan. Padahal,
infrastruktur adalah syarat keberhasilan sebuah negara. Apakah Jokowi-JK dan
pasukan dalam kabinetnya nanti mampu mewujudkannya? Hal itu hanya menjadi mimpi
jika Jokowi-JK tidak melakukan gerakan ekonomi revolusioner.
Investasi Kepemimpinan
Franklin Delano Roosevelt (1882-2945) menjelaskan faktor pemimpin
menjadi kunci keberhasilan banyak negara yang terkena krisis. Jika pemimpinnya
revolusioner, suatu bangsa yang krisis pun bisa bangkit dari keterpurukan.
Seperti contoh Thailand, Malaysia, Korea Selatan dan Amerika Serikat. Begitu
pula Indonesia yang kini masih menanggung utang yang tak sedikit.
Kita harus memaknai “kemenangan Jokowi” adalah “kemenangan rakyat”.
Pemerintahan Jokowi ke depan harus dikawal dari awal sampai akhir kepemimpinan.
Tamsil Linrung (2012) menyatakan abad 21 ini merupakan era kemajuan dan
keunggulan, abad persaingan prestasi di semua bidang terutama ekonomi dan
politik. Investasi kepemimpinan Jokowi-JK adalah kebutuhan nyata manusia modern
saat ini.
Proyek masa depan Jokowi-JK adalah menciptakan negara mandiri, merdeka,
martabat dan bebas utang. Don Tapscott dan Anthony D. Williams (2008)
menyebutkan era ekonomi keempat seperti ini harus menyeimbangkan antara sumber
daya manusia (SDM) berupa kepemimpinan dan sumber daya alam (SDA). Jika
kepemimpinan Jokowi-JK mampu menembus pesimisme manusia Indonesia terhadap
kedaulatan ekonomi, hal itu bisa dilakukan dengan prinsip “laba untuk rakyat”.
Richard Florida (2012) menyatakan dalam kompetisi global (global
competition of talent) seperti ini, aspek yang harus ditonjolkan adalah SDM
yang kreatif dalam memenangkan persaingan inovasi terbaru. Mengapa? Karena
masalah kemajuan ekonomi bukan hanya dari seberapa banyak SDA yang dimiliki,
melainkan seberapa besar SDM yang dimiliki suatu negara yang mampu berdaulat
dalam politik dan ekonomi.
Sebagai wadah revolusi, pemerintahan Jokowi-JK dan kabinetnya harus
berorientasi mengutamakan kesejahteraan rakyat. Puncak berdirinya negara adalah
menyejahterakan rakyatnya. Keadilan harus menjadi poros utama dalam mengambil
kebijakan. Mengapa keadilan? Amrtya Sen (2009) menyatakan tagaknya keadilan
dalam dunia politik menjadi kunci kemakmuran. Adil menjadi tiang utama negara
yang berdasarkan hukum.
Bahkan, Ibnu Khaldun (1332-1406) menyatakan pembangunan tanpa keadilan
akan menuju kehancuran masyarakat, sebagaimana air bah yang melumat kota dan
desa. Kini, rakyat menanti gerakan ekonomi revolusioner Jokowi-JK untuk
menjadikan Indonesia adil dan makmur. Blueprint visi-misi ekonomi
Jokowi-JK harus menjamin masa depan Indonesia lima tahun ke depan.
Gerakan Revolusioner
Hariman Siregar (2013) menyatakan dalam kolam demokrasi, jika tak bisa
melakukan revolusi, setidaknya kita menjalankan “gerakan revolusioner”. Hal itu
menjadi PR Jokowi-JK untuk membuat gerakan revolusioner dalam aspek ekonomi.
Melihat visi dan misi Jokowi-JK tampaknya belum fundamental. Mengapa?
Mereka baru setuju untuk pengetatan fiskan, pengurangan utang dan reformasi
birokrasi lewat pemecatan pejabat bermasalah. Padahal, banyak langkah harus
dilakukan, seperti menghapus semua utang orde sebelumnya, melakukan fixe
rate finance, menasionalisasi aset, renegosiasi kontrak dan sebagainya.
Kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi-JK ke depan harus transparan dan
memenuhi prinsip good governance dan spirit membentuk welfare state. Jokowi-JK
harus merekrut para menteri kredibel, memiliki kapasitas dan kompetensi
teknikal serta mampu merumuskan gerakan revolusioner untuk mewujudkan mimpi tersebut.
Jika republik ini mengutamakan prinsip transparansi ekonomi, maka pertumbuhan
ekonomi dengan digit dobel tak sekadar mimpi. Hal itu harus dilakukan dengan
ruh good corporate governance.
Agenda reformasi birokrasi dan membangun sistem hukum nasional juga
menunjang jalan menuju kemandirian ekonomi nasional. Herdi Sahrasad (2009)
mengategorikan negara makmur ketika mampu membayar ULN, menyelamatkan kekayaan,
ekonomi kerakyatan, memperkuat sektor usaha kecil, kemandirian energi dan
meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan.
Gerakan ekonomi revolusioner juga harus dilakukan dengan menjga mata
uang rupiah dan mengendalikan devisa. Hal itu bisa dilakukan dengan cara
menerapkan fixed rate system dan membatasi perdagangan rupiah. Kwik Kian
Gie (2009) menyatakan kunci keberhasilan ekonomi suatu bangsa harus bernafas
nasionalisme, patriotisme dan pemerintahan yang kuat.
Tekad yang sama dalam memajukan Indonesia harus ditanamkan sejak dini.
Hal itu bertujuan agar keterpurukan bangsa terkikis hilang. Indonesia juga
harus belajar dari Malaysia dan Thailand, selain melakukan reorientasi
kebijakan, dua negara itu juga melakukan pengendalian devisa, pemberantasan
korupsi, memobilisasi SDM secara maksimal.
Untuk menjadi negara kuat, Jokowi-JK harus melakukan langkah
revolusioner dengan jeli menetapkan prioritas program pada upaya menggerakkan
roda perekonomian di sektor-sektor produksi dengan berbasis sumber daya kuat.
Semua program pemerintah ke depan harus tepat sasaran dan mengonsolidasikan
diri serta membangun keselarasan visi dan aksi dengan rakyat dengan cita-cita
memulihkan ekonomi Indonesia.
Jika tiga pemerintahan di era Reformasi dikatakan gagal karena
kebijakan selalu berorientasi pada kepentingan kelompok-kelompok tertentu, maka
tugas Jokowi-JK ke dapan adalah membuktikan pada rakyat lewat kebijakan yang
berprinsip “laba untuk rakyat”. Semua kebijakan harus pro dan berdampak
realistik terhadap rakyat. Jika tidak, maka era Jokowi-JK bisa dikatakan
“gagal” dalam memimpin Indonesia menjadi negara makmur dan sejahtera.
Masyarakat harus yakin bahwa Indonesia bisa bangkit. Mengapa? Karena
potensi itu tersedia dan peluangnya pun sangat besar. Masalahnya terpulang pada
rakyat dan keseriuan Jokowi-JK dalam memimpin Indonesia ke depan. Sebab, tanpa
sinergi dan dukungan dari rakyat, mustahil pimpinan nasional mendatang dapat
bekerja optimal dan revolusioner untuk membangkitkan kembali bangsa Indonesia
dari keterpurukan dan ketertinggalan.
Masyarakat bisa optimis jika semua orang Indonesia era Jokowi-JK akan
berubah. Namun berubah saja tidak cukup, karena era ini adalah “era penentu”,
maju, mundur atau bahkan hancur. Kita tunggu saja!
0 komentar:
Post a Comment