Oleh Hamidulloh Ibda, M.Pd
Alumnus Pascasarjana Universitas
Negeri Semarang
Tulisan ini dimuat di Koran Wawasan, 16 Januari 2017.
Salah satu hantu di dunia maya adalah “hoax”.
Ia bisa berupa berita, tulisan, foto bahkan video bohong, berbau fitnah dan
provokasi yang disebar tanpa kontrol. Serangan hoax sangat berbahaya sekali.
Sebab, selain membodohkan masyarakat, berita hoax juga bisa memecah belah
bangsa. Maka melawan hoax hukumnya adalah wajib karena hal itu jelas merugikan.
Akar dari hoax sebenarnya tidak hanya masalah
“buta literasi” dan “gersang jurnalistik”, namun juga kepentingan dan
propaganda. Pasalnya, media sosial (medsos) yang jumlah penggunanya makin
menjamur, membuat mudah para pemilik kepentingan untuk merekayasa fakta menjadi
bias bahkan salah menjadi benar.
Tahun 2014, pengguna Facebook di Indonesia mencapai 77 juta, sementara
2015 mencapai 82 dan sampai Oktober 2016 mencapai 88 juta orang. Sedangkan
pengguna layanan chatting WhatsApp sebanyak 1 miliar pengguna dan Messenger
sebanyak 1 miliar pengguna, serta Instagram sebanyak 500 juta pengguna (Kompas,
20/10/2016).
Data tersebut sangat berpengaruh terhadap
komsumsi berita di medsos, baik itu Facebook, Twitter, Instagram dan lainnya.
Apalagi, masyarakat saat ini, menurut Amir Machmud NS (2016: 6) lebih percaya
isu daripada berita valid. Ironisnya, berita hoax menjadi alat untuk
menghancurkan jurnalisme demi mendapatkan kekuasaan dan perang politik.
Darurat Hoax
Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kemkominfo) telah memblokir 773 ribu situs selama tahun 2016. Situs yang
bermuatan pornografi, di tahun 2016 paling banyak dibandingkan dengan 10
kategori lainnya. Sementara itu, data Subdirektorat Cyber Crime Polda Metro
Jaya dalam tiga bulan terakhir sampai Januari 2017, menyebutkan ada sekitar 300
konten media sosial (medsos) dan dalam jaringan (daring) teridentifikasi
menyebarkan berita hoax.
Sebelum internet
citizen (netizen) atau masyarakat internet membumi, hal itu berawal dari jurnalisme
warga (citizen journalism) yang dulu
diwadahi oleh media massa yang pakem dan profesional. Namun kini, jurnalisme
warga berkembang di media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram begitu
pesat. Ironisnya, hal itu saat ini menggeser peran jurnalisme yang sudah pakem
dan profesional.
Etika diabaikan, asal upload (unggah)
tanpa mengindahkan dampak dan akurasinya. Contoh kecil saja, ketika ada
kecelakaan, seorang wartawan atau jurnalis, tidak akan menayangkan hal-hal
berdarah, kepala hancur, atau tangan yang terpotong akibat terlindas bus. Tapi
jurnalisme warga melalui medsos, justru dieskpose dan mereka banggsa akan hal
itu. Belum lagi masyarakat yang mudah membagikan pesan broadcast di WA, Line, BBM dan lainnya tanpa tahu kebenarannya.
Kemudian, kecenderungan netizen biasanya lebih suka informasi “hoax”
atau palsu tanpa adanya verifikasi dan konfirmasi. Padahal sebuah berita, dalam
kerja jurnalistik harus melalui tahap wawancara dan klarifikasi serta memenuhi
unsur 5 W + 1 H (What, Who, Why, Where,
When dan How). Idealnya, sebelum
membaca, mengomentari dan membagikan berita di medsos, masyarakat perlu membaca
dan klarifikasi.
Banyaknya netizen yang dijebloskan ke penjera akibat ulahnya di medsos,
salah satunya disebabkan karena buta literasi dan jurnalistik. Padahal, netizen
adalah wartawan maya karena mereka mewartakan sesuatu meskipun tidak
profesional dan pakem seperti wartawan media massa. Oleh karena itu, perlu ada
edukasi literasi dan jurnalistik kepada masyarakat agar tidak menjadi korban hoax.
Gerakan Literasi
Literasi, sebenarnya tidak hanya masalah tulis-menulis, membaca,
menyimak dan membaca. Namun dalam panggung medsos, literasi juga berkaitan
dengan “etika jurnalistik” yang harus dipegang teguh. Sebab, tanpa etika, maka
netizen sama saja seperti hewan, karena medsos adalah “hutan rimba” yang
semuanya ada di sana, baik itu pornografi, kejahatan, jual beli barang
terlarang dan lainnya.
Pemerintah melalui Kominfo, di awal 2017 sudah melakukan terobosan
dengan melakukan ”Gerakan Bersama Anti Hoax dan Peluncuran TurnBackHoax.id”
yang bisa mendeteksi berita palsu. Kegiatan itu dilakukan secara bersamaan di 7
kota besar, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Wonosobo, Jogjakarta dan
Surabaya (Tempo, 8/1/2017).
Gerakan masyarakat Indonesia yang anti hoax menjadi titik awal untuk
melek literasi. Akan tetapi, hal itu bagi yang paham, namun bagi para pelajar,
remaja dan orang tua sangat susah untuk melakukan hal itu. Oleh karena itu, perlu
dilakukan beberapa hal agar banjir hoax bisa teratasi. Pertama, menindak tegas siapa saja yang menyebarkan dan membuat berita
hoax. Sebab, penyebaran informasi hoax bisa terancam Pasal 28 ayat 1 dalam
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan ancaman pidana
maksimal enam tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 miliar (UU ITE, 2008).
Kedua, penertiban akun medsos. Adanya
berita hoax, karena akun medsos mereka palsu. Ketiga, dari aspek
pendidikan dan sosial, seharusnya pemerintah rajin sosialisasi, dan membuat
program edukasi internet dan literasi digital kepada masyarakat.
Kelima, adanya sinergi dari segi
penegakan hukum. Mulai dari Kominfo, Polri, Badan Reserse Kriminal dan
Indonesia Computer Emergency Response Team (ID-CERT) yang menangani insiden di
internet. Kemudian juga Indonesia Security Incident Response Team on Internet
Infrastructure/Coordination Center (ID-SIRTII/CC) dan Pengelola Nama Domain
Internet Indonesia (PANDI).
Gerakan literasi dan pemberantasan hoax
juga harus didukung media massa, pegiat literasi digital dan masyarakat untuk
bersama-sama membangun netizen Indonesia yang sehat. Medsos pada dasarnya sangat
menyehatkan karena banyak informasi di sana. Sementara hoax di medsos adalah
musuh bersama yang harus dilawan dengan pendekatan literasi dan jalur hukum.
Jika masyarakat sudah melek literasi dan
jurnalistik, maka berita hoax bisa disikapi dan dilaporkan kepada pihak
berwajib. Tanpa adanya gerakan dan komitmen bersama melawan hoax, maka kita
akan menjadi korban hoax. Padahal, manusia Indonesia pada dasarnya suka pada
kebenaran. Namun, jika masih banyak hoax bermunculan, apakah Indonesia ini negara
hoax?
Foto Tulisan:
0 komentar:
Post a Comment