Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Wednesday, 18 January 2017

Gerakan Literasi Melawan Hoax

Oleh Hamidulloh Ibda, M.Pd
Alumnus Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
Tulisan ini dimuat di Koran Wawasan, 16 Januari 2017.

Salah satu hantu di dunia maya adalah “hoax”. Ia bisa berupa berita, tulisan, foto bahkan video bohong, berbau fitnah dan provokasi yang disebar tanpa kontrol. Serangan hoax sangat berbahaya sekali. Sebab, selain membodohkan masyarakat, berita hoax juga bisa memecah belah bangsa. Maka melawan hoax hukumnya adalah wajib karena hal itu jelas merugikan.


Akar dari hoax sebenarnya tidak hanya masalah “buta literasi” dan “gersang jurnalistik”, namun juga kepentingan dan propaganda. Pasalnya, media sosial (medsos) yang jumlah penggunanya makin menjamur, membuat mudah para pemilik kepentingan untuk merekayasa fakta menjadi bias bahkan salah menjadi benar.

Tahun 2014, pengguna Facebook di Indonesia mencapai 77 juta, sementara 2015 mencapai 82 dan sampai Oktober 2016 mencapai 88 juta orang. Sedangkan pengguna layanan chatting WhatsApp sebanyak 1 miliar pengguna dan Messenger sebanyak 1 miliar pengguna, serta Instagram sebanyak 500 juta pengguna (Kompas, 20/10/2016).

Data tersebut sangat berpengaruh terhadap komsumsi berita di medsos, baik itu Facebook, Twitter, Instagram dan lainnya. Apalagi, masyarakat saat ini, menurut Amir Machmud NS (2016: 6) lebih percaya isu daripada berita valid. Ironisnya, berita hoax menjadi alat untuk menghancurkan jurnalisme demi mendapatkan kekuasaan dan perang politik.

Darurat Hoax
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) telah memblokir 773 ribu situs selama tahun 2016. Situs yang bermuatan pornografi, di tahun 2016 paling banyak dibandingkan dengan 10 kategori lainnya. Sementara itu, data Subdirektorat Cyber Crime Polda Metro Jaya dalam tiga bulan terakhir sampai Januari 2017, menyebutkan ada sekitar 300 konten media sosial (medsos) dan dalam jaringan (daring) teridentifikasi menyebarkan berita hoax.

Sebelum internet citizen (netizen) atau masyarakat internet membumi, hal itu berawal dari jurnalisme warga (citizen journalism) yang dulu diwadahi oleh media massa yang pakem dan profesional. Namun kini, jurnalisme warga berkembang di media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram begitu pesat. Ironisnya, hal itu saat ini menggeser peran jurnalisme yang sudah pakem dan profesional.

Etika diabaikan, asal upload (unggah) tanpa mengindahkan dampak dan akurasinya. Contoh kecil saja, ketika ada kecelakaan, seorang wartawan atau jurnalis, tidak akan menayangkan hal-hal berdarah, kepala hancur, atau tangan yang terpotong akibat terlindas bus. Tapi jurnalisme warga melalui medsos, justru dieskpose dan mereka banggsa akan hal itu. Belum lagi masyarakat yang mudah membagikan pesan broadcast di WA, Line, BBM dan lainnya tanpa tahu kebenarannya.

Kemudian, kecenderungan netizen biasanya lebih suka informasi “hoax” atau palsu tanpa adanya verifikasi dan konfirmasi. Padahal sebuah berita, dalam kerja jurnalistik harus melalui tahap wawancara dan klarifikasi serta memenuhi unsur 5 W + 1 H (What, Who, Why, Where, When dan How). Idealnya, sebelum membaca, mengomentari dan membagikan berita di medsos, masyarakat perlu membaca dan klarifikasi.

Banyaknya netizen yang dijebloskan ke penjera akibat ulahnya di medsos, salah satunya disebabkan karena buta literasi dan jurnalistik. Padahal, netizen adalah wartawan maya karena mereka mewartakan sesuatu meskipun tidak profesional dan pakem seperti wartawan media massa. Oleh karena itu, perlu ada edukasi literasi dan jurnalistik kepada masyarakat agar tidak menjadi korban hoax.

Gerakan Literasi
Literasi, sebenarnya tidak hanya masalah tulis-menulis, membaca, menyimak dan membaca. Namun dalam panggung medsos, literasi juga berkaitan dengan “etika jurnalistik” yang harus dipegang teguh. Sebab, tanpa etika, maka netizen sama saja seperti hewan, karena medsos adalah “hutan rimba” yang semuanya ada di sana, baik itu pornografi, kejahatan, jual beli barang terlarang dan lainnya.

Pemerintah melalui Kominfo, di awal 2017 sudah melakukan terobosan dengan melakukan ”Gerakan Bersama Anti Hoax dan Peluncuran TurnBackHoax.id” yang bisa mendeteksi berita palsu. Kegiatan itu dilakukan secara bersamaan di 7 kota besar, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Wonosobo, Jogjakarta dan Surabaya (Tempo, 8/1/2017).

Gerakan masyarakat Indonesia yang anti hoax menjadi titik awal untuk melek literasi. Akan tetapi, hal itu bagi yang paham, namun bagi para pelajar, remaja dan orang tua sangat susah untuk melakukan hal itu. Oleh karena itu, perlu dilakukan beberapa hal agar banjir hoax bisa teratasi. Pertama, menindak tegas siapa saja yang menyebarkan dan membuat berita hoax. Sebab, penyebaran informasi hoax bisa terancam Pasal 28 ayat 1 dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan ancaman pidana maksimal enam tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 miliar (UU ITE, 2008).

Kedua, penertiban akun medsos. Adanya berita hoax, karena akun medsos mereka palsu. Ketiga, dari aspek pendidikan dan sosial, seharusnya pemerintah rajin sosialisasi, dan membuat program edukasi internet dan literasi digital kepada masyarakat.

Kelima, adanya sinergi dari segi penegakan hukum. Mulai dari Kominfo, Polri, Badan Reserse Kriminal dan Indonesia Computer Emergency Response Team (ID-CERT) yang menangani insiden di internet. Kemudian juga Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure/Coordination Center (ID-SIRTII/CC) dan Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI).

Gerakan literasi dan pemberantasan hoax juga harus didukung media massa, pegiat literasi digital dan masyarakat untuk bersama-sama membangun netizen Indonesia yang sehat. Medsos pada dasarnya sangat menyehatkan karena banyak informasi di sana. Sementara hoax di medsos adalah musuh bersama yang harus dilawan dengan pendekatan literasi dan jalur hukum.


Jika masyarakat sudah melek literasi dan jurnalistik, maka berita hoax bisa disikapi dan dilaporkan kepada pihak berwajib. Tanpa adanya gerakan dan komitmen bersama melawan hoax, maka kita akan menjadi korban hoax. Padahal, manusia Indonesia pada dasarnya suka pada kebenaran. Namun, jika masih banyak hoax bermunculan, apakah Indonesia ini negara hoax?

Foto Tulisan:



  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Gerakan Literasi Melawan Hoax Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda