Oleh
Hamidulloh Ibda, M.Pd
Direktur
Utama Forum Muda Cendekia (Formaci) Jawa Tengah
Tulisan
ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, Senin 30 Januari 2017
Selama
ini, Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) yang sudah disahkan Kemendikbud tahun 2015
lalu, ternyata masih belum dikenal dan diketahui masyarakat Indonesia. Padahal,
EBI menjadi pijakan utama dalam berbahasa, baik lisan maupun tulisan. Tidak
hanya masyarakat biasa, namun wartawan, penulis, dosen, guru dan peneliti
Bahasa Indonesia juga masih sedikit yang tahu. Kebanyakan, mereka masih mengira
bahwa pijakan berbahasa masih menggunakan Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan (EYD).
Meskipun
secara substansi hampir sama, namun EBI menjadi “kitab suci” dalam berbahasa. Maka
rumusnya, Bahasa Indonesia menjadi penting. Sebab, selain menjadi wujud
nasionalisme dan cinta kepada Nusantara, berbahasa Indonesia dengan benar dan
baik adalah ruh dalam menjalankan kehidupan berbangsa. Apalagi mereka yang
menjadi anutan berbahasa.
Rustono
(2013) menyebut ada beberapa orang yang patut menjadi anutan berbahasa
Indonesia yang benar dan baik, yaitu Presiden dan Wakil Presiden, menteri,
pemimpin lembaga tinggi, pemimpin ABRI, guru dan dosen, wartawan, sekretaris
dan pengonsep pidato, pemuka agama dan tokoh masyarakat. Jika mereka masih
salah dalam berbahasa dan “tidak kenal” dengan EBI, lalu bagaimana wujud
nasionalismenya?
Kerusakan Bahasa
Bahasa
selama ini dianggap hal sepele bahkan tidak penting. Hadirnya dunia digital dan
media sosial juga menjadi pemicu rusaknya keindahan Bahasa Indonesia. Meskipun
jumlah bahasa daerah di Indonesia mencapai 742 (Pusat Bahasa, 2016), namun hal
itu bisa disatukan melalui Bahasa Indonesia. Akan tetapi, mengapa mental
kolonial dan “inlander” masih menyelimuti jiwa masyarakat Indonesia? Tentu
banyak faktor penyebabnya.
Kerusakan
berbahasa, bisa dilihat dari beberapa hal. Bisa salah dalam penggunaan Bahasa
Indonesia belum benar dan baik, tata
tulis lemah, penalaran kurang dan aturan ejaan belum benar. Padahal, dalam
Bahasa Indonesia, pokok-pokok yang benar mengacu pada pembentukan kata,
pemilihan kalimat, penyusunan kalimat, pembentukan paragraf, penataan penalaran
dan penerapan pedoman EBI.
Hadirnya
media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan layanan pesan seperti
WhatsApp, Blackberry Messenger, Line dan lainnya juga menjadi pemicu rusaknya
Bahasa Indonesia. Semakin “pintar” para netizen menggunakan bahasa “alay”, maka
mereka merasa gaul dan bahkan lupa bahwa mereka adalah masyarakat Indonesia.
Masalah
lain, bisa kita lihat dari rasa percaya diri para akademisi dan tokoh bahasa di
negeri ini. Lihat saja, dalam seminar internasional yang digelar di perguruan
tinggi, masih menggunakan Bahasa Inggris. Padahal, tempat dan peserta seminar
didominasi masyarakat Indonesia. Penulis sepakat dengan Ida Zulaeha (2014) yang
mewacanakan seminar internasional maupun acara internasional di Indonesia harus
menggunakan Bahasa Indonesia. Sebab, sudah saatnya masyarakat
“menginternasionalkan” Bahasa Indonesia. Bukan menunjukkan mental inlandernya.
Rasa
percaya diri dan “menjadi” bangsa Indonesia seutuhnya harus digelorakan.
Ironisnya lagi, untuk menyatakan cinta kepada Indonesia saja harus memakai
bahasa orang lain. Contohkan saja I Love
Indonesia, We Love Indonesia, dan lainnya. Bukankah ini bukti masyarakat
sudah tidak mau menjadi Indonesia seutuhnya? Di mana letak nasionalismenya?
Beriman dan
Bertakwa pada EBI
Masalah
bahasa, sebenarnya menjadi masalah dunia. Bahasa menjadi perekat, alat
komunikasi, bahkan menjadi alat pemersatu semua orang dalam suatu negara. Tanpa
berbahasa benar dan baik, maka Indonesia akan semakin rapuh. Padahal, Bahasa
Indonesia menjadi alat mewujudkan peradaban di hadapan dunia.
Beriman
kepada EBI, dalam hal ini harus digelorakan. Sudah seharusnya masyarakat
percaya, yakin, beriman pada bahasanya sendiri beserta aturannya. Sementara
konteks takwa di sini, menjauhi semua bahasa yang merusak pundi-pundi keaslian
Bahasa Indonesia. Sebab, yang merusak bahasa itu pelakunya, ditambah dengan
gempuran globalisasi tanpa kontrol. Boleh dan harus menguasai bahasa asing,
namun harus ditempatkan pada porsinya.
Mengapa?
Karena kita punya bahasa sendiri yang sudah diatur sesuai dengan Ejaan Bahasa
Indonesia (EBI). Dalam hal ini, EBI merupakan ejaan resmi Bahasa Indonesia yang
berlaku sejak tahun 2015 berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia (Kemendikbud, 2016). Ejaan ini menggantikan Ejaan Bahasa
Indonesia Yang Disempurnakan (EYD).
Pemerintah,
terutama Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, harus menyosialisasikan Bahasa Indonesia dan
EBI kepada semua elemen. Melalui Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), diharapkan bisa menumbuhkan
nasionalisme masyarakat. Dalam naskah PEUBI, ada perbedaan mendasar antara EYD
lama dan EBI. Pertama, penambahan huruf vokal diftong. Pada EYD,
huruf diftong hanya tiga yaitu ai, au, oi, sedangkan pada EBI, huruf
diftong ditambah satu yaitu ei. (misalnya pada kata survei, seprei).
Kedua, penggunaan
huruf kapital. Pada EYD tidak diatur bahwa huruf kapital digunakan untuk
menulis unsur julukan. Sedangkan dalam EBI, unsur julukan tidak diatur ditulis
dengan awal huruf kapital. (Misal raja dangdut, bunga desa, kota batik).
Ketiga, penggunaan
huruf tebal. Dalam EYD, fungsi huruf tebal ada tiga (menuliskan judul buku,
bab, dan semacamnya, mengkhususkan huruf, serta menulis lema atau sublema dalam
kamus). Sementara dalam EBI, fungsi ketiga dihapus.
Berbahasa
dengan benar dan baik dan beriman pada EBI adalah keniscayaan. Tanpa itu, kita
tidak akan menjadi bangsa besar karena tidak cinta pada bahasanya sendiri. Kerusakan
bahasa ini kadang dianggap sepele dan dipandang sebelah mata. Padahal, bangsa
yang besar adalah yang menjunjung tinggi Bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan. Bisa ditarik simpulan sederhana, salah satu faktor hancurnya
Indonesia di bisang ekonomi, sosial, politik, hukum, agama, salah satunya
karena masyarakat dan pemerintah masih setengah hati beriman dan bertakwa pada
EBI.
Jika
ini dibiarkan, maka kita hidup di Indonesia namun menggunakan bahasa orang lain
dan hidup di atas peradaban asing. Padahal Bahasa Indonesia itu unik, menarik
dan menjadi jimat pemersatu bangsa ini. Jika masih suka bahasa asing dan buta
dengan bahasanya sendiri, apakah kita ini memang lupa dan tidak mau menjadi
Indonesia? Apakah kita ini asing, aseng atau bangsa Indonesia atau siapa?
Foto Tulisan:
0 komentar:
Post a Comment