Oleh
Hamidulloh Ibda, M.Pd
Tulisan ini dimuat di Duta Masyarakat, Senin 20 Maret
2017
Melawan gelombang “hoax” harus memakai kecerdasan,
intelektualitas dan tabayyun. Maka dari itu, gerakan netizen Nahdlatul Ulama
(NU) melawan “hoax” tidak boleh sekadar deklarasi. Namun harus diimbangi dengan
dengan pengetahuan, strategi dan gerakan intelektual, tabayyun serta istikamah
untuk melawan hoax. Sebab, cara mudah menghancurkan NKRI saat ini adalah dengan
menyerang dan melemahkan NU dengan strategi pemberitaan negatif, miring, bahkan
berbau fitnah yang ditujukan kepada sejumlah kiai dan ulama NU. Contohkan saja
pemberitaan tentang Habib Luthfi bin Yahya dan KH. Said Aqil Siradj yang
belakangan ini mengusik NU.
Diakui atau tidak, hampir semua masyarakat internet
atau netizen saat ini masih bodoh dan belum melek literasi. Mengapa? Netizen
sudah tidak lagi memikirkan akurasi, validitas dan reliabilitas berita berupa
tulisan, gambar dan video yang disebar bebas di medsos. Akhirnya, berita palsu
atau “hoax” yang disebar melalui medsos menimbulkan pertikaian dan memecah
belah bangsa, terutama internal NU. Apalagi, saat ini antara berita hoax dan
valid di medsos susah dibedakan.
Hal itu dikarenakan masyarakat kurang filter, asal
membagikan, kurangnya pengetahuan tentang literasi, jurnalistik, berita, sumber
berita, serta minimnya etika dalam bermedsos dan lemahnya tradisi tabayyun
(klarifikasi). Apalagi, media online saat ini yang valid, blogger, media online
hoax dengan media online yang resmi susah dibedakan. Padahal berita-berita di
media online, kebanyakan hanya berita “bombastisme” tanpa mementingkan akurasi,
nilai edukasi dan disiplin jurnalistik yang sudah diatur Undang-undang Pers.
Kebanyakan media online saat ini hanya mengejar “viewer” tanpa mengutamakan
fungsi dan peran pers.
Jiwa komsumtif terhadap informasi medsos baik berupa
tulisan, gambar maupun video, juga menjadi penyebab rusaknya dunia jurnalistik
di Indonesia. Oleh karena itu, netizen NU sebagai wadah pergerakan di internal
NU, harus memiliki jiwa wartawan yang patuh pada kode etik jurnalistik dan
mengutamakan kebenaran berita.
Hutan
Rimba
Pengguna Facebook di Indonesia tahun 2014 mencapai
77 juta, sementara 2015 mencapai 82 dan sampai Oktober 2016 mencapai 88 juta
orang. Sementara pengguna layanan chatting WhatsApp sebanyak 1 miliar pengguna
dan Messenger sebanyak 1 miliar pengguna, serta Instagram sebanyak 500 juta
pengguna (Kompas, 20/10/2016).
Jumlah ini sangat memukau publik dan sebenarnya
berdampak positif terhadap literasi online, namun sayangnya masyarakat belum
membuktikan hal itu. Di medsos, para netizen merasa paling benar, pandai dan
mudah mengritik, menghakimi dan bahkan menfitnah orang dan golongan lain. Dunia
medsos yang kebablasan itulah akhirnya tidak lagi menjadi “taman indah” melainkan
menjadi “hutan belantara” yang hukumnya adalah hukum rimba.
Banyaknya akun abal-abal yang mengatasnamakan ulama
dan kiai NU juga menjadi problem serius. Penulis sering mengamati, hal itu
dipicu karena memang ada tujuan jahat untuk melemahkan NU dari medsos. Secara
global, ini adalah dampak perkembangan internet tanpa kontrol dan minimnya
budaya jujur.
Dalam perkembangannya, jurnalisme warga (citizen journalism) yang dulu diwadahi
media massa, kini berkembang di media sosial seperti Facebook, Twitter,
Instagram dan lainnya. Perkembangan pesat itulah saat ini menggeser peran
jurnalisme yang sudah pakem dan jurnalisme profesional. Etika diabaikan, asal upload (unggah) tanpa mengindahkan
dampak dan kebenaran dari berita maupun gambar dan video tersebut.
Contoh kecil saja, ketika ada kecelakaan, seorang
wartawan atau jurnalis, tidak akan menayangkan hal-hal berdarah, kepala hancur,
atau tangan yang patah akibat terlindas bus. Namun jurnalisme warga melalui
media sosial, hal itu diekspose dan mereka justru bangga. Contoh ini hanya
sebagian kecil dari kejadian yang sudah ada. Kecenderungan netizen, juga lebih
suka informasi “hoax” atau palsu tanpa adanya verifikasi dan konfirmasi.
Padahal sebuah berita, dalam kerja jurnalistik harus melalui tahap panjang,
memenuhi unsur 5 W + 1 H (What, Who, Why,
Where, When dan How) ditambah
dengan verifikasi dan dikaji ulang. Dalam tradisi NU, tentu tabayyun harus
diutamakan, tidak hanya berkaitan dengan kebenaran ilmu pengetahuan, namun
tabayyun juga berfungsi mendeteksi kebenaran berita.
Wartawan atau jurnalis, dalam menjalankan tugasnya
juga diuji melalui Uji Kompetensi Wartawan dan harus lolos Standar Kompetensi
Wartawan yang ditetapkan Dewan Pers melalui organisasi profesi seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) dan organisasi pers lainnya (Dewan
Pers, 2011). Tapi, bagaimana dengan netizen? Tentu semrawut. Asal memiliki
ponsel berbasis Smartphone, mereka bisa membuat ratusan akun Facebook, Twitter,
Instragram, juga aplikasi WhatsApp, Blackberry Messengger, Line, Path dan
lainnya tanpa kontrol.
Padahal secara teoretis, Muhammad Irfan (2014)
menjelaskan netizen berasal dari kata “internet” dan “citizen” yang berarti
masyarakat internet. Ia sepadan dengan cyberjournalisme
yang bertugas menjadi wartawan online. Akan tetapi, hal itu masih jarang
dipahami semua netizen. Padahal, semua pemilik akun medsos, secara tidak
langsung, mereka adalah “wartawan” karena mewartakan sesuatu, baik berupa
tulisan, gambar, suara maupun video. Akan tetapi, mengapa mereka kebanyakan
tidak punya etika dan buta literasi?
Gerakan
Intelektual
Dalam konteks ini, netizen NU harus memiliki bekal
“gerakan intelektual” yang berarti dibuktikan dengan melakukan klarifikasi
dengan konsep akademik dan menggunakan pola kerja jurnalistik. Netizen NU yang
didukung akademisi, santri, para politisi dan juga dukungan kiai dan ulama NU,
harus membumikan jiwa “melek literasi” dan jurnalistik agar tidak menjadi
korban dan bisa melawan hoax. Sebab, kebanyakan netizen awam dengan literasi
dan jurnalistik dan akhirnya mereka terjerat UU ITE. Apalagi, tipe netizen
kebanyakan hanya iseng, suka narsis dan senang dengan “viralisme” serta lebih
percaya isu daripada berita.
Media sosial akan menjadi pedang yang membunuh jika
netizen tidak cerdas, bijak, dan menggukan pola pikir dan metode wartawan.
Sudah banyak korban medsos yang akhirnya dijebloskan ke penjara. Sebab, saat
ini media massa yang sudah pakem, peran dan fungsinya makin tergeserkan dengan
hadirnya medsos. Ironisnya, medsos tidak sekadar untuk ajang narsisme, namun
sudah menjadi alat propaganda, alat kepentingan politik, bahkan menjadi wahana
kejahatan, terorisme, bisnis terlarang, termasuk melemahkan organisasi sebesar
NU.
Bermedsos, haruslah memperhatikan beberapa hal.
Pertama, menggunakan jiwa dan pola kerja wartawan. Sebab, pola kerja netizen
dan wartawan sangat berbeda. Wartawan memakai aturan dan bekerja profesional,
sementara netizen asal-asalan tanpa kontrol. Di sinilah peran netizen NU harus
berbeda dengan netizen umum yang rata-rata “kesurupan” jika sudah bergaya di
medsos.
Emha Ainun Nadjib (2015: 87) menyebut semua orang
memiliki pengetahuan tentang hidup. Tapi yang paling tahu hanya tiga, yaitu
Tuhan, malaikat dan wartawan. Di dunia pers, wartawan mengetahui sesuatu di
balik sesuatu dan bisa membedakan mana yang asli dan yang palsu. Dalam konteks
ini, netizen NU perlu membangun jiwa wartawan dengan belajar tentang tulisan,
berita, sumber kebenaran dan juga cara mendapatkan kebenaran yang metodologis,
sistematis dan ilmiah.
Kedua, memiliki tanggungjawab dan kesadaran
klarifikasi sebelum membagikan informasi. Di sinilah letak penting sebagai
representasi “gerakan intelektual” sebagai budaya para santri dalam mengamalkan
nilai-nilai Aswaja. Tabayyun tidak hanya dipakai dalam kegiatan bahtsul masa’il
dan kegiatan kultural di internal NU. Justru tabayyun menjadi pisau tajam untuk
menangkal hoax yang memang didesain untuk melemahkan NU sebagai organisasi
besar di Indonesia. Apalagi, NU telah mengusung Islam Nusantara dan konsep hubbul wathon (cinta Tanah Air) secara
istikamah. Hal itu bagi penjajah dan orang yang memusuhi dan merusak NKRI tentu
sangat berbahaya. Maka melemahkan NU jadi tujuan mereka.
Ketiga, berpijak pada media massa pakem. Semua warga
NU, selain merujuka media massa pakem yang sudah valid, bisa merujuk pada media
valid milik NU seperti NU Online, dan media cetak NU yang diproduksi jelas oleh
NU maupun badan otonom NU. Secara sederhana, jika ingin tahu tentang NU,
tanyalah pada warga NU dan utamanya pengurus NU, bukan pada yang lain.
Keempat, patuh pada regulasi agar tidak berurusan
dengan hukum, khusunya dalam menyikapi banjir informasi yang bertebaran tanpa
kontrol tiap detik di medsos. Kelima, pemerintah terutama Kominfo perlu tegas
dalam aturan pembuatan akun medsos. Arif (2016) mejelaskan bahwa saat ini
pemerintah harus menyeleksi akun medsos dengan syarat yang valid dibuktikan
dengan KTP asli. Sebab, banyaknya akun hoax juga karena tidak ada verifikasi
yang akhirnya banyak muncul jutaan akun untuk kejahatan.
Tabayyun intelektual dan literasi online tidak hanya
berurusan dengan tulisan, gambar, suara dan video, namun juga etika. Artinya,
medsos akan bermanfaat jika digunakan untuk kebaikan dan menyebar informasi
valid dan mencerahkan. Sebab, medsos hanyalah alat. Ibarat pisau, mau digunakan
untuk membutuh atau memotong cabai, itu bergantung penggunanya. Jika tidak
ingin terbunuh, maka gunakan medsos sebagaimana mestinya.
Meskipun tidak wartawan profesional, netizen NU juga
memiliki tugas laiknya wartawan, karena mereka mewartakan sesuatu. Jika tidak
demikian, apa pantas disebut netizen NU? Jadi sudah saatnya netizen NU menjadi
garda depan dalam menyebarkan nilai-nilai Aswaja yang menjadi dasar Rahmatal Lilalamin!
Santi Nuriah
ReplyDeleteXI IPS 1
Jadi intinya dari artikel diatas, ketika menemukan berita yang aneh, jangan langsung disebarkan. Sebaiknya ditelusuri dulu asal muasalnya. Kita harus melakukan tabayyun.
Tabayyun yang dimaksud adalah dengan mengecek kebenaran suatu berita kepada orang yang pertama menuliskan atau membagikan. Kita akan tahu apakah hal itu disengaja, atau tujuan dari penyebaran berita tersebut. Ini penting untuk memotong penyebaran berita hoax.
Dengan menemukan sumber pertama akan ketahuan siapa dan kelompok apa yang menggerakkan mereka. Sudah jelas bahwa berita berita itu sengaja diciptakan untuk menimbulkan keresahan dalam masyarakat.