Oleh
Hamidulloh Ibda
Tulisan ini dimuat di Satelit Post, Kamis 13 April 2017
Apakah koruptor dan perampok negara pantas
dimaafkan? Dalam konteks sekarang, tentu tidak, meski melihat korupsi harus
mempertimbangkan aspek budaya, historis, sosiologis, politik, ekonomi dan juga
psikis. Jadi tidak bisa kita dengan sarkasme langsung menghakimi koruptor tanpa
melihat aspek-aspek di atas. Lalu, bagaimana dengan perampokan di Indonesia
sebelum merdeka?
Dari riset James (1999), selama lima tahun menjajah
Jawa, Stamford Raffles berhasil membawa harta rampokan sebesar kurang lebih Rp.
17.666 triliun. Di mana dua pertiganya digunakan menghidupi kerajaan Inggris
dan sepertiganya untuk membangun Singapura. Jadi, negara Inggris dan negara
Singapura itu jelas-jelas dibangun dari harta rampokan yang perampoknya “harum
namanya”. Aneh!
Sementara hasil riset Huningan (2014), harta rampokan
VOC selama menjajah Nusantara setara USD 3,2 triliun atau Rp 31.718 triliun.
Harta itu dipakai menghidupi negara Belanda dan membangun 15 kota di seluruh
dunia dan perlengkapan perang terbaik yang dimiliki sebuah perusahaan di dunia.
Tetapi, adakah para perampok (para Gubernur Jenderal) itu dibui dan dinista?
Tidak ada. Mereka jadi pahlawan bagi Belanda (Yudhie Haryono, 2016).
Pertanyaannya, apakah mereka dicap sebagai perampok atau pahlawan? Lalu
bagaimana dengan koruptor di negeri ini?
Sejak skandal kasus korupsi Century, BLBI, dan
lainnya, Indonesia disebut sebagai negara gagal (failed state) karena lemah dalam memberantas korupsi. Perampokan BLBI berdasarkan catatan
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) hingga 2015 mencapai Rp
2.000 triliun. Belum lagi kasus korupsi di tiap daerah yang sangat merugikan
rakyat.
Mental korup dan karakter serakah masih menyelimuti
wajah politisi dan birokrat kita. Dana kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP)
yang jumlahnya sekitar Rp 5,6 triliun diduga menjadi “bancaan berjamaah”
menjadi bukti bahwa korupsi masih akut di negeri ini.
Kalangan politikus Senayan, anggota kabinet, mantan
menteri, hingga sederet nama pengusaha juga disebut-sebut menerima aliran dana
tersebut. Mereka berasal dari berbagai
latar belakang parpol. KPK menyebut dari proyek yang disetujui itu ada penggelembungan
dana sebesar Rp 2,55 triliun. Penggelembungan dana itulah yang diduga menjadi
bancaan di lingkungan elite politik.
Mental
Korup
Gejala serakah dan dorongan mendapat uang banyak
tanpa bekerja sudah mendarahdaging. Apalagi, sistem perpolitikan kita memang
ketat dan seakan-akan, korupsi sudah menjadi sistem dan wajar bila dilakukan
berjamaah. Padahal, dalam konteks hukum, korupsi termasuk kejahatan luar biasa
(extraordinary crime) yang dosanya
setara dengan kejahatan narkoba dan terorisme.
Darurat korupsi menjadikan Indonesia semakin suram.
Sebab, Indonesia banjir kekacuan, kemarau karakter, surplus perampok dan minus
pahlawan. Dalam nalar sehat, korupsi telah menjadi kata yang sulit dipahami.
Sebaliknya, yang menikmati hasil korupsi dikiranya “kenikmatan”, padahal itu
“jahaman”. Ironisnya lagi, banyak kasus korupsi timbul dan tenggelam tanpa
adanya follow up sampai sekarang.
Dalam logika ekonomi, dampak korupsi tidak hanya
merusak tatanan ekonomi nasional dan menjadikan Indonesia semakin miskin dan
tertinggal. Belum lagi mental korup yang diwariskan kepada anak bangsa. Sebab,
korupsi yang sudah dianggap wajar, seolah-olah Indonesia berada pada “peradaban
korup”. Sehingga, jika ada kasus korupsi, kita menganggap biasa, wajar dan
tidak ada kemarahan terhadap penyakit tersebut.
Saking miskinnya bangsa ini terhadap nilai-nilai
keluhuran seperti jujur, adil, tegas, sederhana, asketis, maka jika ada orang
yang jujur saja, kita sudah menganggap hebat. Bahkan, kita menyebutnya itu
sebagai prestasi. Jika ada pemimpin selama satu periode tidak korupsi, maka itu
prestasi, padahal, hal itu ya biasa saja. Uniknya lagi, orang yang benar-benar
merampok, justru dimaafkan dan diberi remisi.
Memaafkan?
Dalam studi kolonialisme, kejahatan terbesar di
dunia bukanlah seberapa banyak harta korupsi yang dikumpulkan, tetapi
mewariskan “mental merampok” dan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) bagi generasi
berikutnya. Mental korup lebih berbahaya daripada korupsi itu sendiri. Mental korup
jika dipelihara akan menjadi embrio generasi berikutnya. Cukup menakutkan dan
harus diputus mata rantainya.
Sejak dijajah Belanda dan Jepang, kita memang
dijarah dan secara tidak langsung “diajarkan” merampok, mencuri, mengembargo
harta benda. Padahal Indonesia adalah negara yang mengutamakan kejujuran. Saat
ini kita juga krisis pemimpin dan politisi berjiwa asketik, crank (menyempal)
dan profetik, yang ada kebanyakan sebaliknya. Mereka merampok dan mencuri
berjamaah. Tanpa peduli lagi nasib rakyat yang semakin tercekik dengan naiknya
harga kebutuhan pokok.
Sementara itu KPK juga kian tiada taringnya karena
selalu “dilemahkan”. Padahal jika negara ini sehat, KPK harusnya dijaga dan
dikuatkan. Supremasi hukum juga demikian, wacana “hukuman mati”, kebiri, dan
pemiskinan bagi koruptor ternyata hanya wacana. Apalagi, koruptor tampaknya
tidak takut dengan ancaman tersebut. Buktinya, makin hari jumlah koruptor makin
bertambah.
Budaya memaafkan memang dipupuk sejak kita duduk di
bangku sekolah dasar. Ketika kita sudah besar juga didorong untuk menjadi pribadi
yang pemaaf, pemberi dan dilarang tegas menjadi pencuri. Kita diajarkan untuk
menjadi pribadi yang rajin memberi daripada meminta-minta.
Islam juga mengajarkan “tangan di atas lebih baik
daripada tangan di bawah”. Ini membuktikan betapa pentingnya memberi dan betapa
rendahnya menerima. Jika budaya menerima saja secara derajat estetik berada di
posisi bawah, lalu bagaimana dengan korupsi? Tidak konyol lagi, melainkan hina.
Dua jurus memberantas korupsi sudah digaungkan di
negeri ini, melalui aspek hukum dan pendidikan antikorupsi. Jika aspek
pendidikan berjangka pandang efeknya, namun secara hukum, koruptor memang harus
ditindak tegas. Sebab, ancaman hukuman berat saja tidak membuat koruptor takut,
apalagi ada pemaafan berupa remisi.
Memberantas korupsi memang harus total seratus
persen. Apalagi, misi mereka pasti menguasai kebijakan hukum dengan melemahkan
KPK. Jika memberantas tikus tidak perlu membakar lumbung padi, namun saat ini
tikus sudah menguasai lumbung padi. Jika mencuri ayam hanya dihajar warga,
mencuri helm hanya dikeroyok massa, lalu bagaimana dengan mencuri uang negara?
Jadi, tugas KPK sangat berat dan jika berat, masihkah ada iba untuk memaafkan
koruptor?
0 komentar:
Post a Comment