Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Thursday, 27 April 2017

Membumikan Filsafat Antikorupsi



Oleh Hamidulloh Ibda, M.Pd
Tulisan ini dimuat di JogloSemar, Rabu 5 April 2017

Indonesia kehilangan “selembar KTP” yang sangat mulia dan penting. Selembar KTP tersebut adalah “kejujuran” yang lenyap dikorupsi dan dihancurkan berjamaah. Kejujuran tidak sekadar berfungsi sebagai personalitas, melainkan juga identitas. Dalam prinsip humanisme, kejujuran mampu memanusiakan diri sendiri dan orang lain. Jujur terhadap orang lain dan Tuhan, secara otomatis jujur terhadap diri sendiri.

Rusaknya mental bangsa karena godaan rupiah, membuat guru besar, hakim, polisi, KPK, petani dan rakyat kecil resah. Dugaan korupsi berjamaah proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) dengan total Rp. 2,2 triliun menjadi catatan kelam di negeri ini (Jawa Pos, 11/3/2017). Sejarah Indonesia tidak lepas dari perusakan dan pembangunan mental. Saking gagalnya, Presiden Jokowi juga mencanangkan “revolusi mental” sebagai jawaban atas rusaknya mental warga negara. Namun, mengapa kasus korupsi terus bermunculan?

Penyakit Jiwa
Abdullah Hehamahua (2007) menjelaskan penyakit jiwa bangsa Indonesia yang paling parah adalah korupsi. Ketika orang mengidap “gila”, maka ia cenderung tidak mengaku gila, dan kebanyakan orang gila di rumah sakit jiwa, mengatakan yang gila adalah dokternya. Begitu pula dengan koruptor, penyakit ini adalah dampak penyakit mental yang akut karena menilai materi, harta benda nomor satu dalam hidup. Sehingga ia tidak sadar di balik perbuatannya tersebut merugikan diri sendiri, negara dan rakyat.

Apakah selamanya koruptor itu jahat? Puncak kebaikan koruptor dalam hal ini adalah menyadari bahwa ia salah dan memperbaikinya. Kapok korupsi lebih tepatnya. Sebab, semua orang pasti punya salah, dan yang paling baik adalah yang mengakui kesalahan dan berusaha memperbaiknya.

Mental bangsa ini diakui atau tidak memang sudah “rusak”. Sejak peralihan orde lama menuju orde baru sampai sekarang, tugas berat tiap presiden yang menjabat adalah memberantas korupsi. Bahaya laten ini menggerus sendi-sendi kehidupan karena tidak hanya merugikan negara, namun juga merusak “citra bangsa”. Karena tiap bulan ada koruptor ditangkap, seolah-olah kita sedang berada pada “peradaban korup”. Karena sudah terbiasa, maka kita juga biasa-biasa saja ketika mendengar berita korupsi. Bukankah ini anomali zaman?

Masyarakat kita menurut Ahmad Fauzi (2015) sudah didera patologi sosial. Mental rusak karena rakyat benci koruptor tapi mau menerima uang politik saat pemilu. Jadi rakyat dan pejabat sama-sama rusaknya. Aneh. Penyakit jiwa ini harus disembuhkan karena lambat atau cepat, Indonesia akan darurat kejujuran.

Thomas Lickona (1991) menjelaskan adan 10 tanda-tanda kerusakan suatu bangsa. Di antaranya yaitu meningkatnya kekerasan remaja, penggunaan bahasa dan kata-kata buruk, tindak kekerasan, perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, kaburnya pedoman moral baik dan buruk, menurunnya etos kerja, rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, membudayanya ketidakjujuran, dan adanya rasa saling curiga dan kebencian. Jika dianalisa, Indonesia sudah berada pada posisi sepuluh tanda-tanda di atas.


Cinta Kejujuran
Korupsi tidak sekadar “keburukan” saja. Sebab, tanpa korupsi, kita tidak mungkin tahu mana pejabat yang baik dan mana yang buruk. Jadi syarat “keindahan politik” di sini adalah ada hitam ada buruk. Kiai saya di pondok pesantren pernah bilang “semakin banyak sumur bersih, maka semakin banyak pula comberannya”. Artinya, korup atau jujur adalah pilihan. Jika pejabat melakukan korupsi, itu bukan “konyol” lagi, melainkan “hina”.

Kejahatan dan kebaikan selalu beriringan bagikan dua keping mata uang. Dalam Islam, sesuatu yang “hak(benar) dan “batil” (kesalahan) adalah hukum alam. Begitu pula konsep “Yin Yang” sebagai filosofi Tionghoa yang menjelaskan bahwa dunia ini pasti ada baik dan buruk. Jika manusia berbuat baik, pasti ia mengunduh kebaikan, begitu pula sebaliknya. Semua agama menyetujui konsep itu karena alam dan Tuhan selalu beredar sesuai hukum “kausalitas” atau sebab akibat.

Agama Hindu menyebutnya dalam konsep Karma. Hindu mengakui bahwa segala sesuatu yang dialami manusia adalah hasil dari tindakan kehidupan masa lalu dan sekarang. Dalam buku “The Manual of Life – Karma”, konsep kausalitas tersebut disebut pula “samsara” yang dilestarikan dalam filsafat Hindu, Jain, Sikh dan Buddhisme.

Inti dari filsafat antikorupsi adalah kejujuran. Jujur saja, meskipun tidak masuk akal. Jujur adalah perbuatan rasional (masuk akal) dan logis (sesuai cara berpikir yang benar). Maka kita perlu memperbaiki logika kejujuran. Sebab, inti filsafat dari dulu adalah “cinta kebajikan” atau “cinta kejujuran”.

Filsafat mengajarkan manusia untuk berpikir logis, sistematis, metodologis dan empiris. Berpikir filsafat, juga menggunakan pola nilai benar-salah, baik-buruk serta indah-tidak indah. Tanpa memahami hal itu, kita tidak bisa menjadi manusia yang seutuhnya. Sebab, kehidupan tidak hanya berhubungan dengan manusia, namun juga dengan Tuhan dan alam. Jika berbuat jujur, alam dan Tuhan pasti merespon positif, begitu sebaliknya.

Barang siapa berhati jahat, korupsi dan menyakiti hati rakyat, mereka pasti terbakar hatinya, dan akan hancur dengan sendirinya meskipun tanpa jeratan hukum KPK. Sebab, di tengah kehancuran seperti ini, Tuhan sudah menyiapkan manusia baru, hibrida baru yang akan menggantikan politisi buruk di negeri ini. Siapakah dia? Mari kita ciptakan sejak dini.

Malaikat, sudah ditakdirkan, diperintahkan Tuhan untuk berbuat baik, demikian pula setan ditakdirkan berbuat buruk. Sementara manusia, diciptakan untuk memilih keduanya, dan itu demokrasi gratis dari Tuhan. Namun pertanyaannya, apakah Tuhan menyuruh kita untuk korupsi?
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Membumikan Filsafat Antikorupsi Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda