Oleh
Hamidulloh Ibda, M.Pd
Tulisan ini dimuat di JogloSemar, Rabu 5 April 2017
Indonesia kehilangan “selembar KTP” yang sangat
mulia dan penting. Selembar KTP tersebut adalah “kejujuran” yang lenyap
dikorupsi dan dihancurkan berjamaah. Kejujuran tidak sekadar berfungsi sebagai
personalitas, melainkan juga identitas. Dalam prinsip humanisme, kejujuran
mampu memanusiakan diri sendiri dan orang lain. Jujur terhadap orang lain dan
Tuhan, secara otomatis jujur terhadap diri sendiri.
Rusaknya mental bangsa karena godaan rupiah, membuat
guru besar, hakim, polisi, KPK, petani dan rakyat kecil resah. Dugaan korupsi
berjamaah proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) dengan total Rp. 2,2
triliun menjadi catatan kelam di negeri ini (Jawa Pos,
11/3/2017). Sejarah Indonesia tidak lepas dari perusakan dan pembangunan
mental. Saking gagalnya, Presiden Jokowi juga mencanangkan “revolusi mental”
sebagai jawaban atas rusaknya mental warga negara. Namun, mengapa kasus korupsi
terus bermunculan?
Penyakit
Jiwa
Abdullah Hehamahua (2007) menjelaskan penyakit jiwa
bangsa Indonesia yang paling parah adalah korupsi. Ketika orang mengidap
“gila”, maka ia cenderung tidak mengaku gila, dan kebanyakan orang gila di
rumah sakit jiwa, mengatakan yang gila adalah dokternya. Begitu pula dengan
koruptor, penyakit ini adalah dampak penyakit mental yang akut karena menilai
materi, harta benda nomor satu dalam hidup. Sehingga ia tidak sadar di balik
perbuatannya tersebut merugikan diri sendiri, negara dan rakyat.
Apakah selamanya koruptor itu jahat? Puncak kebaikan
koruptor dalam hal ini adalah menyadari bahwa ia salah dan memperbaikinya.
Kapok korupsi lebih tepatnya. Sebab, semua orang pasti punya salah, dan yang
paling baik adalah yang mengakui kesalahan dan berusaha memperbaiknya.
Mental bangsa ini diakui atau tidak memang sudah
“rusak”. Sejak peralihan orde lama menuju orde baru sampai sekarang, tugas
berat tiap presiden yang menjabat adalah memberantas korupsi. Bahaya laten ini
menggerus sendi-sendi kehidupan karena tidak hanya merugikan negara, namun juga
merusak “citra bangsa”. Karena tiap bulan ada koruptor ditangkap, seolah-olah kita
sedang berada pada “peradaban korup”. Karena sudah terbiasa, maka kita juga
biasa-biasa saja ketika mendengar berita korupsi. Bukankah ini anomali zaman?
Masyarakat kita menurut Ahmad Fauzi (2015) sudah
didera patologi sosial. Mental rusak karena rakyat benci koruptor tapi mau
menerima uang politik saat pemilu. Jadi rakyat dan pejabat sama-sama rusaknya.
Aneh. Penyakit jiwa ini harus disembuhkan karena lambat atau cepat, Indonesia
akan darurat kejujuran.
Thomas Lickona (1991) menjelaskan adan 10
tanda-tanda kerusakan suatu bangsa. Di antaranya yaitu meningkatnya kekerasan
remaja, penggunaan bahasa dan kata-kata buruk, tindak kekerasan, perilaku
merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, kaburnya
pedoman moral baik dan buruk, menurunnya etos kerja, rendahnya rasa hormat
kepada orang tua dan guru, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga
negara, membudayanya ketidakjujuran, dan adanya rasa saling curiga dan
kebencian. Jika dianalisa, Indonesia sudah berada pada posisi sepuluh
tanda-tanda di atas.
Cinta
Kejujuran
Korupsi tidak sekadar “keburukan” saja. Sebab, tanpa
korupsi, kita tidak mungkin tahu mana pejabat yang baik dan mana yang buruk.
Jadi syarat “keindahan politik” di sini adalah ada hitam ada buruk. Kiai saya
di pondok pesantren pernah bilang “semakin banyak sumur bersih, maka semakin
banyak pula comberannya”. Artinya, korup atau jujur adalah pilihan. Jika
pejabat melakukan korupsi, itu bukan “konyol” lagi, melainkan “hina”.
Kejahatan dan kebaikan selalu beriringan bagikan dua
keping mata uang. Dalam Islam, sesuatu yang “hak” (benar) dan “batil” (kesalahan) adalah hukum alam. Begitu pula
konsep “Yin Yang” sebagai filosofi Tionghoa yang menjelaskan bahwa dunia ini
pasti ada baik dan buruk. Jika manusia berbuat baik, pasti ia mengunduh
kebaikan, begitu pula sebaliknya. Semua agama menyetujui konsep itu karena alam
dan Tuhan selalu beredar sesuai hukum “kausalitas” atau sebab akibat.
Agama Hindu menyebutnya dalam konsep Karma. Hindu
mengakui bahwa segala sesuatu yang dialami manusia adalah hasil dari tindakan
kehidupan masa lalu dan sekarang. Dalam buku “The Manual of Life – Karma”,
konsep kausalitas tersebut disebut pula “samsara” yang dilestarikan dalam
filsafat Hindu, Jain, Sikh dan Buddhisme.
Inti dari filsafat antikorupsi adalah kejujuran.
Jujur saja, meskipun tidak masuk akal. Jujur adalah perbuatan rasional (masuk
akal) dan logis (sesuai cara berpikir yang benar). Maka kita perlu memperbaiki
logika kejujuran. Sebab, inti filsafat dari dulu adalah “cinta kebajikan” atau
“cinta kejujuran”.
Filsafat mengajarkan manusia untuk berpikir logis,
sistematis, metodologis dan empiris. Berpikir filsafat, juga menggunakan pola
nilai benar-salah, baik-buruk serta indah-tidak indah. Tanpa memahami hal itu,
kita tidak bisa menjadi manusia yang seutuhnya. Sebab, kehidupan tidak hanya
berhubungan dengan manusia, namun juga dengan Tuhan dan alam. Jika berbuat
jujur, alam dan Tuhan pasti merespon positif, begitu sebaliknya.
Barang siapa berhati jahat, korupsi dan menyakiti
hati rakyat, mereka pasti terbakar hatinya, dan akan hancur dengan sendirinya
meskipun tanpa jeratan hukum KPK. Sebab, di tengah kehancuran seperti ini,
Tuhan sudah menyiapkan manusia baru, hibrida baru yang akan menggantikan
politisi buruk di negeri ini. Siapakah dia? Mari kita ciptakan sejak dini.
Malaikat, sudah ditakdirkan, diperintahkan Tuhan
untuk berbuat baik, demikian pula setan ditakdirkan berbuat buruk. Sementara
manusia, diciptakan untuk memilih keduanya, dan itu demokrasi gratis dari
Tuhan. Namun pertanyaannya, apakah Tuhan menyuruh kita untuk korupsi?
0 komentar:
Post a Comment