Oleh
Hamidulloh Ibda
Tulisan
ini dimuat di Tribun Jateng, Jumat 28 April 2017
Masyarakat
Indonesia yang beragama maupun tidak, harus mengutamakan toleransi, pluralisme,
dan dilarang keras melakukan radikalisme, vandalisme apalagi terorisme. Adanya
gerakan radikal, intoleransi, serta kekerasan yang dilakukan ormas radikal sangat
mengancam keutuhan NKRI.
Beragama
atau tidak, kita wajib menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme. Hidup di
Indonesia seharusnya tunduk dan patuh pada Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI
dan juga UUD 1945. Adanya sejumlah ormas
yang ingin “mengislamkan” Indonesia tentu bertentangan dengan empat pilar
bangsa tersebut. Sebab, saat ini banyak ormas terang-terangan menentang
Pancasila.
Dengan
dalih agama, mereka melakukan kekerasan verbal dan fisik. Mereka mudah mengafirkan,
membidahkan, dan menyalahkan orang bahkan merusak fasilitas umum. Doktrin
“benar sendiri” inilah melahirkan “fanatisme buta”, menganggap semua orang
salah kecuali kelompoknya.
Tujuan
mereka tidak sekadar “eksis”, melainkan ingin menguasai Indonesia. Hal itu
dilakukan dengan langkah apa saja demi misi menguasai NKRI. Nilai-nilai dasar negara
harus ditegakkan walau langit runtuh. Indonesia bukan negara Islam dan komunis,
maka Pancasila harus dijaga seutuhnya.
Kerusakan Zaman
Indonesia
kini mengalami kekacauan kompleks. Thomas Lickona menjelaskan ada 10
tanda-tanda kehancuran bangsa. Di antaranya meningkatnya kekerasan remaja,
penggunaan kata-kata buruk, narkoba, alkohol dan seks bebas, kaburnya batasan
moral baik-buruk. Juga rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara,
membudayanya ketidakjujuran, saling curiga dan kebencian antarsesama (Sutawi,
2010).
Lewat
pidato peringatan HUT RI ke-19 tahun 1964, Presiden Soekarno menyebut era saat
itu adalah Tahun Vivere Pericoloso (TAVIP) atau zaman yang kondisinya
“nyerempet-nyerempet bahaya”. Jika dulu musuh bangsa sangat nyata, namun musuh
bangsa saat ini “di dalam selimut”. Perang
cyber berkecamuk, kebenaran dibiaskan
berita hoax dan fake, rentetan aksi juga mewarnai pesta demokrasi. Ditambah aksi
beberapa ormas yang ingin menegakkan “negara khilafah” semakin menghantui dan
mengancam keutuhan NKRI.
Dalam
Alquran, ada sejumlah istilah kerusakan zaman. Pertama, jahiliyah, kerusakannya
adalah kasus akal, ia bodoh dan buta agama. Kedua, fasad, yang berarti
kerusakan di bidang moral. Ketiga, zulmat yang berarti kegelapan dan
kerusakannya kompleks, karena selain kasus akal juga moral. Keempat, adalah
puncak kerusakan yaitu kiamat (Nadjib, 2015).
Pertanyaanya,
Indonesia saat ini berada pada posisi jahiliyah, fasad, zulmat ataukah kiamat? Jika
saat ini berada pada jahiliyah, maka Indonesia sangat “primitif” sekali
lantaran sudah terjadi zaman Nabi Muhammad Saw sekitar tahun 570 M.
Banyaknya
aliran, ideologi, gerakan dan juga ormas yang mengancam NKRI menunjukkan
hilangnya toleransi dan spirit Islam sebagai agama rahmat bagi semua alam.
Mereka tak mampu membedakan “Islam” dengan “tafsir Islam”. Mungkin yang mereka
pahami bukanlah Islam, melainkan tafsir Islam yang setiap kepala berbeda
pemahaman. Ironisnya, mereka ingin mengubah Indonesia menjadi negara “khilafah”
yang mereka anggap murni seperti apa yang dilakukan Nabi Muhammad. Padahal
Indonesia jelas-jelas negara Pancasila yang terdiri atas berbagai suku, agama,
ras, budaya dan bahasa.
Faham
buta dan tidak diterapkan pada tempatnya inilah menggerakkan perbuatan
“dehumanisasi” dan mengacaukan kerukunan. Padahal, masyarakat Indonesia berhak
memeluk agama apa saja dan dijamin UUD 1945.
Masalah
agama dari dulu memang sensitif. Namun, dalam bernegara, seharusnya yang
diutamakan seharusnya faham kemanusiaan dan ideologi persaudaraan, bukan
masalah SARA. Sebab, tanpa agama pun, jika manusia benar-benar “menjadi
manusia”, mereka pasti tak merusak, mengafirkan, menyalahkan.
Dalam
hal ini yang penting bukan apa agama kita, namun seberapa banyak kebaikan kita
pada manusia, alam dan Tuhan. Hal itulah sebagai wujud implementasi “iman, ilmu
dan amal” sebagai syarat beragama kafah. Jika kita berbuat baik pada orang,
maka agama tak menjadi penting. Ibarat rumah, agama letaknya di dapur,
sementara garasi rumah adalah amal saleh kita kepada manusia yang harus
ditonjolkan. Rumusnya, iman tanpa ilmu akan sesat, namun jika tak ada “amal saleh”,
maka keduanya sia-sia. Iman, ilmu dan amal menjadi tiga entitas tunggal.
Humanisme
Humanisme
menjadi prinsip hidup di negara apa saja, baik demokrasi, khilafah, bahkan
komunis sekalipun. Kesadarannya, bukan bukan SARA, namun “kesadaran kemanusiaan”.
Prinsip ini berlaku untuk semua manusia, karena hidup bersosial, menolong,
berdampingan tak lagi memandang apa partainya, agamanya, apa ormasnya.
Indonesia
yang majemuk, seharusnya menerapkan prinsip kerukunan dan kemesraan rohani.
Bangsa ini perlu belajar dan menerapkan prinsip “Tri Kerukunan Umat Beragama”
yang dicetuskan Mukti Ali (1923-2004). Prinsip itu yaitu rukun antarumat
seagama, antarumat beragama, dan rukun antarumat beragama dengan pemerintah. Tanpa
kerukunan tidak mungkin lahir persatuan, tanpa persatuan mustahil lahir
pembangunan dan peradaban.
Kerukunan
dalam bingkai kemanusiaan menjadi mutlak. Sebab, manusia adalah makhluk yang
pada dasarnya memiliki dua potensi, yaitu taat dan menentang. Dalam tafsir
Alquran, selain “ibnu adam”, ada terminologi tentang manusia yang masing-masing
memiliki potensi yang bisa dikembangkan untuk kehidupan. Di antaranya basyar (aspek biologis), al-insan (aspek psikologis), an-nas (aspek sosial). Dimensi itu
menunjukkan manusia adalah ahsan takwim (makhluk
sempurna) daripada malaikat dan iblis.
Prinsip
persaudaraan juga harus diutamakan. Ketiga prinsip itu menurut Said Aqil Siraj
(2006) yaitu ukhuwah islamiyah
(persaudaraan umat Islam), ukhuwah
wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan). Keunggulan manusia
dengan makhluk lain inilah menjadi modal hidup damai, rukun, mesra tanpa
“sikut-sikutan”.
Lembaga
pendidikan juga berperan membumikan humanisme beragama. Seperti contoh yang
dilakukan 42 Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) Kopertais X Jawa
Tengah di STAINU Temanggung pada 14 April 2017 kemarin. Penandatanganan “Piagam
Bela NKRI” antar-PTKIS se Jateng itu menjadi gerakan menolak faham
anti-Pancasila dan anti-NKRI di kampus.
Perdamaian
berawal dari kesadaran kemanusiaan dalam beragama. Hans Kung (1991: xv)
menegaskan tak ada perdamaian dunia jika tak ada perdamaian agama. Jika ada
orang beragama, wajib menjamin keamanan nyawa, harta dan martabat manusia di
sekitarnya. Jika tidak, tampaknya mereka “pura-pura” beragama. Apakah kita ini
pura-pura beragama?
Foto:
0 komentar:
Post a Comment