Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Thursday, 4 May 2017

Menggugat Uang Kuliah Tunggal (UKT)



Oleh Hamidulloh Ibda
Disampaikan dalam Diskusi HMJ Ilmu Pemerintahan FISIP Undip, Selasa 2 Mei 2017

Lagi-lagi soal uang. Itu respon Saya ketika berbicara Uang Kuliah Tunggal (UKT) sekitar empat tahun yang lalu. Apalagi, UKT ditambah adanya Biaya Kuliah Tunggal (BKT) juga Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI). UKT, secara teknis prosedural makin memperkeruh suasana akademik Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Muaranya sama, pemerintah ingin ada “standardisasi” pembayaran uang kuliah sesuai tingkat ekonomi sesuai prodi/jurusan di masing-masing PT dan pemberantasan “uang pangkal”. Namun fakta di lapangan terjadi sejumlah paradoks dan kesenjangan.

UKT memang didedikasikan memutus mata rantai pungutan liar saat masuk PTN. Namun, tidak sedikit calon mahasiswa “mengundurkan diri” karena kaget dengan besaran UKT saat pengumuman, apalagi yang jalur mandiri karena otomatis masuk “golongan 7”.

Kebijakan ini hampir lima tahun, perlu evaluasi dan kritik demi terciptanya iklim akademik yang transparan dan bebas dari “penistaan kejujuran”. Akan tetapi, karena PT yang bergenre Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) seperti Undip, maka Dekan berhak melakukan “otonomisasi” standar pembiayaan akademik. Inilah sebabnya, ada perbedaan UKT yang signifikan antarprodi. Sama-sama di satu fakultas dan kampus, jas almameter juga sama, namun besaran UKT beda. Di sisi lain, penyebab UKT berbeda juga dari faktor ekonomi orang tua mahasiswa.

Jika sekadar ingin “memutus” pungli saat penerimaan mahasiswa, sebenarnya pemerintah tidak perlu menerapkan UKT. Sebab, jagat akademik harus steril, bebas pungli, korupsi, maka selalu diawasi BPK, KPK dan juga Kemenristek Dikti serta Kopertis secara berkala. Jadi, sebenarnya UKT ini “produk coba-coba” yang mengakibatkan mahasiswa angkatan 2013-sekarang menjadi “kelinci percobaan”.

Secara kualitatif, hampir di tiap nurani mahasiswa yang kurang mampu pasti merasa “keberatan” dengan UKT. Maka, suara-suara mahasiswa di persimpangan jalan menyebut UKT dengan sinisme yang melahirkan akronim UKT menjadi “Uang Kuliah Termahal”, atau “Uang Kuliahku Tertilep” bahkan “Uang Kuliah Tabungan”, “Uang Kuliah Titipan” yang puncaknya menjadi OKT, yaitu “Ora Kuat, Tuhan!”

Secara rasional, UKT juga melahirkan “kejahatan akademik”. Mengapa? Karena banyak kasus manipulasi data keluarga, kekayaan orang tua yang “disembunyikan”. Contohkan saja status orang tua, ada yang rela mengubah KTP berstatus pekerjaan “wiraswasta” yang asalnya “PNS”. Ini jelas-jelas, UKT menjadi “embrio dosa akademik”. Di sisi lain, data yang diberikan calon mahasiswa mulai dari jenis rumah, luas tanah, status kepemilikan, juga kepemilikan harta benda seperti emas, sawah, kendaraan dan lainnya juga banyak yang dipalsukan.

Dus, apakah ada mahasiswa yang bahagia lahir batin dengan adanya UKT? Anda sendiri yang tahu jawabannya!

Rasional UKT
Pada 2012, pemerintah melalui Kemendikbud, telah mengesahkan UU No.12 Tahun 2012. Pasal 88 undang-undang tersebut mengamanatkan pemerintah untuk menerapkan suatu standar tertentu biaya operasional pendidikan tinggi dan sistem pembayaran biaya pendidikan bagi mahasiswa yang melahirkan UKT dan anak ekonimisnya bernama BKT dan SPI.

Sebelum menerapkan UKT, pemerintah terlebih dahulu menerbitkan Surat Edaran Dikti Nomor 488 E/T/2012 dan surat Edaran Dirjen Dikti Nomor 97 E/KU/2013 yang keduanya mengatur tentang pelaksanaan sistem UKT untuk PTN dan penghapusan uang pangkal bagi mahasiswa baru tahun akademik 2013/2014.

Kebijakan UKT lahir dari Surat Surat Edaran Dikti (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi) Nomor 21/E/T/2012 tanggal 4 Januari 2012 dan Nomor 274/E/T/2012 tanggal 16 Februari 2012. SE Dikti yang pertama pada tanggal 4 Januari 2012 berisi tentang pengenalan kepada semua universitas untuk menggunakan sistem pembayaran baru untuk penarikan biaya dari sumber masyarakat. Lalu, Dikti mengeluarkan kembali SE pada tanggal 16 Februari 2012 yang berisi perguruan tinggi dilarang menaikkan biaya kuliah atau SPP.

UKT, sesuai regulasi di atas, didefinisikan sebagai sistem pembayaran biaya kuliah dengan metode sebagian biaya kuliah tunggal ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya. UKT ditetapkan berdasarkan biaya kuliah tunggal dikurangi biaya yang ditanggung oleh pemerintah. Setiap PTN/PTAIN, termasuk Universitas Terbuka (UT) wajib memberlakukan UKT yang telah disetujui dan ditetapkan oleh Mendikbud Republik Indonesia mulai tahun akademik 2013 – 2014.

Ada tiga hal yang perlu ditegaskan, yaitu UKT, BKT dan SPI. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2013 tentang, BKT dan UKT pada PTN di lingkungan Kemendikbud.

Adapun beberapa poin penting dalam pasal-pasal peraturan menteri tersebut yang menjelaskan secara rinci tentang BKT dan UKT antara lain: Pasal 1; 1 Biaya Kuliah Tunggal merupakan keseluruhan biaya operasional per mahasiswa per semester pada program studi di perguruan tinggi negeri; 2 Biaya Kuliah Tunggal digunakan sebagai dasar penetapan biaya yang dibebankan kepada mahasiswa masyarakat dan pemerintah; 3 Uang Kuliah Tunggal merupakan sebagian Biaya Kuliah Tunggal yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya dan 3 Uang kuliah tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan biaya kuliah tunggal dikurangi biaya yang ditanggung oleh pemerintah.

Kemudian, perubahan Kemendikbud yang “pecah gerbong” yang melahirkan Kemenristek Dikti sejak 2014 juga melahirkan “anak-anak ekonomis” yang tidak “mengotak-atik” UKT bertambah dengan BKT dan SPI. Namun intinya sama seperti UKT.

Hitam Putih UKT
Ada sejumlah noda hitam dan bercak putih dalam penerapan UKT sejak 2013 sampai 2017 ini. Hitamnya, pertama adanya perubahan sistem yang tidak seimbang. Mahasiswa harus membayar sesuai UKT, namun pelayanan sama, jadi hanya kebijakannya yang “rasa UKT”.  Penelitian Milwan and Ratih (2014) menunjukkan ada perubahan mendasar kampus dalam pelayanan mahasiswa pasca ditetapkannya UKT pada 2013. Kenyataannya, implementasi UKT berimplikasi perubahan layanan kepada mahasiswa belum sepenuhnya telah dilaksanakan, misalnya masih ada layanan bimbingan praktik, dan praktikum.

Kedua, dalam perjalanannya, UKT yang digadang-dagang menjadi sistem “murah” bagi mahasiswa, namun paradoks. Sebab, UKT menjadi semacam “labeling” yang justru menjadikan kampus semakin mahal. Apalagi, bagi PTN yang berstatus PTN-BH. Katakan saja UI, Undip dan sejumlah PT lain.

Ketiga, dari aspek akademik, adanya ketimpangan antarprodi. Sebab, UKT berakibat mendikotomikan prodi di tiap PTN. Yang mahal makin mahal, yang murah makin murah. Sehingga, ada prodi yang diserbu calon mahasiswa, ada pula yang ditinggalkan.

UKT Undip
Dikutip dari laman resmi Undip, biaya studi di Undip menggunakan sistem UKT yang dirumuskan berdasarkan BKT. Sistem UKT terdiri atas golongan 1 sampai 7. Terdapat perbedaan dari setiap jalur dari sistem ini yaitu Program Sarjana Strata 1 (S1) dan Program Diploma III (D3).

Untuk S1, pertama, jalur SNMPTN dan SBMPTN; pembayaran studi hanya biaya SPP berdasarkan UKT dari Golongan 1-7. Pembagian golongan itu berdasarkan usulan dari calon mahasiswa yang bersangkutan.  Calon mahasiswa dapat memilih UKT golongan 7 atau lainnya pada saat mengisi registrasi online calon mahasiswa baru.

Kedua, jalur Ujian Mandiri (UM S1). Tahun 2016 pembayaran studi terdiri atas biaya SPP dari UKT golongan 7 dan biaya SPI. Biaya SPI hanya dibayarkan sekali selama studi pada awal semester 1. Untuk SPI tersebut terdiri atas golongan 1 dan 2, di mana calon mahasiswa bisa memilih golongan saat mau mendaftar menjadi peserta Ujian Mandiri S1 (pilihan terdapat pada pengisian formulir online). Biaya pendidikan UM S1 tahun 2017 masih dalam proses.

Ketiga, jalur Ujian Mandiri (UM S1) Kelas Internasional. Pembayaran studi hanya biaya SPP sebesar Rp. 20.000.000  per semester, 1 sampai 7. Kelas Internasional (IUP) yang dibuka saat ini Akuntansi, Manajemen, Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, dan Teknik Kimia.

Untuk Program Diploma III (D3), pertama jalur PSSB pembayaran studi hanya biaya SPP berdasarkan UKT dari golongan 1 sampai 7. Pembagian golongan tersebut berdasarkan usulan dari calon mahasiswa yang bersangkutan.  Calon mahasiswa dapat memilih UKT Golongan 7 atau lainnya pada saat mengisi registrasi online calon mahasiswa baru.

Kedua, jalur Ujian Mandiri (UM DIII). Tahun 2016 pembayaran studi terdiri atas biaya SPP dari UKT golongan 4-7 dan biaya SPI. Biaya SPI hanya dibayarkan sekali selama studi pada awal semester 1. Untuk SPI jalur Ujian Mandiri D-III hanya 1 golongan saja sebesar Rp. 5.000.000.  Untuk tahun 2017 masih dalam proses.

Program Pascasarjana (S2/S3) Undip tidak menggunakan sistem UKT. Biaya studi sesuai dengan biaya pada masing-masing program studi terdiri atas biaya SPP per semester dan biaya SPI.

Untuk Banding UKT calon peserta dapat mengajukan banding atas UKT khusus jalur SNMPTN, SBMPTN dan PSSB D-III. Syaratnya, dengan tata tertib sesuai SK Rektor NO. 28/UN7.P/PHK/2016 Tanggal 15 Juni 2016 Tentang Perubahan Biaya Studi Jalur PPSB Diploma III dan Jalur SNMPTN Sarjana S1.

Ora Kuat, Tuhan!
Melihat anggaran belanja Undip memang memukau. Data yang dijelaskan PR I Undip Prof. Dr. Ir. Muhammad Zainuri, DEA pada Jum’at, 1 April 2016, angka belanja Undip Rp 806 miliar.  Dalam neraca itu, disebutkan BOPTN jumlahnya adalah Rp 90 miliar. Sementara dana riset Undip menjadi Rp.40 miliar di tahun ini (Antara, 9/3/2017).

Biaya UKT seperti dijelaskan Zainuri, bersumber pada neraca keuangan. Selisih di antara BKT dan UKT itulah yang menjadi subsidi negara. Pada dasarnya, hampir semua mahasiswa Undip terutama jenjang S1 itu mendapatkan subsidi dari negara. Jika negara memang tidak mencukupi subsidinya karena angkanya cuman Rp 90 miliar, maka tugas Undip mencarikan beasiswa dari berbagai lembaga.

Besaran UKT Undip 2017-2018 belum dirillis dan dalam proses. Namun berdasarkan besaran UKT sebelumnya yang saya kutip dari undip.ac.id, ada sejumlah besaran yang ditetapkan.

Pertama, UTK persemester S1 untuk golongan 1 Rp.500.000, golongan 1 Rp. 1.000.000, golongan 3 Rp. 3.000.000, golongan 4 Rp.4.000.000, golongan 5 Rp.5.000.000, golongan 6 Rp.6.000.000 dan golongan 7 Rp.7.000.000 - Rp.7.500.000 kecuali Kedokteran Umum sebesar Rp.19.000.000. Sementara untuk BKT sebesar Rp.7.011.000 sampai dengan Rp.10.786.000 sesuai dengan prodi.

Kedua, UKT untuk D-III, golongan 1 Rp.500.000, golongan 2 Rp.1.000.000, golongan 3 Rp.2.000.000, golongan 4 Rp. 3.000.000, golongan 5 Rp.4.000.000 dan golongan 7 Rp.4.500.000. Sementara BKT sekitar Rp. 7.011.000 sampai dengan Rp.10.141.000 sesuai dengan prodinya.

Prinsip pendidikan dalam PTN adalah “kampus rakyat”. Sebab, Undip adalah kampusnya rakyat, bukan kampusnya Kemenristek Dikti, Rektor, Dekan, dan juga kampusnya golongan serta rezim tertentu. Jadi, besaran UKT di atas memang ada yang kuat dan ada yang tidak.

Kampus yang menerapkan UKT harus berbenah. Artinya, birokrasi tidak sekadar menuntut “kenaikan UKT”. Sebab, bagi mahasiswa yang mampu membayar UKT sesuai tingkat pendapatan orangtua (mencakup golongan 1–5), akan mengalami kecenderungan naik. Sebab, kampus menyesuaikan kebutuhan aspek akademik, keuangan (anggaran belanja), gaji dosen/karyawan dan sarana-prasarana.

Di sini, perlu dikritisi adalah penggolongan berdasarkan seleksi masuk. Secara nasional ditetapkan penerimaan mahasiswa baru melalui 3 tahap (SNMPTN, SBMPTN dan UM). SNMPTN ditetapkan jumlahnya 40%. Mahasiswa yang diterima melalui SBMPTN jumlahnya 30% dan UM jumlahnya adalah 30%.

Mahasiswa yang diterima “jalur mandiri” harus mampu melaksanakan “pembayaran UKT secara mandiri”. Karena yang diterima melalui mandiri itu tidak mendapatkan subsidi dari selisih BKT dan UKT, maka otomatis berada di golongan 7. Wah, berat!

Ini bukan kebijakan Undip, melainkan regulasi paket nasional dari Kemenristek Dikti. Meski naif, namun UKT mengajarkan demokrasi karena ada potensi “banding”. Lobi-lobi pun terjadi dengan adanya “Banding UKT”.

UKT melahirkan demokrasi, sekaligus melahirkan potensi pemalsuan data yang sama saja melakukan “kejahatan akademik”. Paketnya lengkap, hampir sama seperti sistem demokrasi yang membawa “catat bawaan”. Masalahnya, apakah UKT benar-benar meringankan mahasiswa?
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Menggugat Uang Kuliah Tunggal (UKT) Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda