Oleh
Hamidulloh Ibda
Disampaikan
dalam Diskusi HMJ Ilmu Pemerintahan FISIP Undip, Selasa 2 Mei 2017
Lagi-lagi
soal uang. Itu respon Saya ketika berbicara Uang Kuliah Tunggal (UKT) sekitar
empat tahun yang lalu. Apalagi, UKT ditambah adanya Biaya Kuliah Tunggal (BKT)
juga Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI). UKT, secara teknis prosedural
makin memperkeruh suasana akademik Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Muaranya sama, pemerintah ingin
ada “standardisasi” pembayaran uang kuliah sesuai tingkat ekonomi sesuai
prodi/jurusan di masing-masing PT dan pemberantasan “uang pangkal”. Namun fakta
di lapangan terjadi sejumlah paradoks dan kesenjangan.
UKT
memang didedikasikan memutus mata rantai pungutan liar saat masuk PTN. Namun,
tidak sedikit calon mahasiswa “mengundurkan diri” karena kaget dengan besaran
UKT saat pengumuman, apalagi yang jalur mandiri karena otomatis masuk “golongan
7”.
Kebijakan
ini hampir lima tahun, perlu evaluasi dan kritik demi terciptanya iklim
akademik yang transparan dan bebas dari “penistaan kejujuran”. Akan tetapi,
karena PT yang bergenre Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) seperti
Undip, maka Dekan berhak melakukan “otonomisasi” standar pembiayaan akademik.
Inilah sebabnya, ada perbedaan UKT yang signifikan antarprodi. Sama-sama di
satu fakultas dan kampus, jas almameter juga sama, namun besaran UKT beda. Di
sisi lain, penyebab UKT berbeda juga dari faktor ekonomi orang tua mahasiswa.
Jika
sekadar ingin “memutus” pungli saat penerimaan mahasiswa, sebenarnya pemerintah
tidak perlu menerapkan UKT. Sebab, jagat akademik harus steril, bebas pungli,
korupsi, maka selalu diawasi BPK, KPK dan juga Kemenristek Dikti serta Kopertis
secara berkala. Jadi, sebenarnya UKT ini “produk coba-coba” yang mengakibatkan
mahasiswa angkatan 2013-sekarang menjadi “kelinci percobaan”.
Secara
kualitatif, hampir di tiap nurani mahasiswa yang kurang mampu pasti merasa
“keberatan” dengan UKT. Maka, suara-suara mahasiswa di persimpangan jalan
menyebut UKT dengan sinisme yang melahirkan akronim UKT menjadi “Uang Kuliah
Termahal”, atau “Uang Kuliahku Tertilep” bahkan “Uang Kuliah Tabungan”, “Uang
Kuliah Titipan” yang puncaknya menjadi OKT, yaitu “Ora Kuat, Tuhan!”
Secara
rasional, UKT juga melahirkan “kejahatan akademik”. Mengapa? Karena banyak
kasus manipulasi data keluarga, kekayaan orang tua yang “disembunyikan”.
Contohkan saja status orang tua, ada yang rela mengubah KTP berstatus pekerjaan
“wiraswasta” yang asalnya “PNS”. Ini jelas-jelas, UKT menjadi “embrio dosa
akademik”. Di sisi lain, data yang diberikan calon mahasiswa mulai dari jenis
rumah, luas tanah, status kepemilikan, juga kepemilikan harta benda seperti
emas, sawah, kendaraan dan lainnya juga banyak yang dipalsukan.
Dus,
apakah ada mahasiswa yang bahagia lahir batin dengan adanya UKT? Anda sendiri
yang tahu jawabannya!
Rasional UKT
Pada
2012, pemerintah melalui Kemendikbud, telah mengesahkan UU No.12 Tahun 2012.
Pasal 88 undang-undang tersebut mengamanatkan pemerintah untuk menerapkan suatu
standar tertentu biaya operasional pendidikan tinggi dan sistem pembayaran
biaya pendidikan bagi mahasiswa yang melahirkan UKT dan anak ekonimisnya
bernama BKT dan SPI.
Sebelum
menerapkan UKT, pemerintah terlebih dahulu menerbitkan Surat Edaran Dikti Nomor
488 E/T/2012 dan surat Edaran Dirjen Dikti Nomor 97 E/KU/2013 yang keduanya
mengatur tentang pelaksanaan sistem UKT untuk PTN dan penghapusan uang pangkal
bagi mahasiswa baru tahun akademik 2013/2014.
Kebijakan
UKT lahir dari Surat Surat Edaran Dikti (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi)
Nomor 21/E/T/2012 tanggal 4 Januari 2012 dan Nomor 274/E/T/2012 tanggal 16
Februari 2012. SE Dikti yang pertama pada tanggal 4 Januari 2012 berisi tentang
pengenalan kepada semua universitas untuk menggunakan sistem pembayaran baru
untuk penarikan biaya dari sumber masyarakat. Lalu, Dikti
mengeluarkan kembali SE pada tanggal 16 Februari 2012 yang berisi perguruan
tinggi dilarang menaikkan biaya kuliah atau SPP.
UKT,
sesuai regulasi di atas, didefinisikan sebagai sistem pembayaran biaya kuliah
dengan metode sebagian biaya kuliah tunggal ditanggung setiap mahasiswa
berdasarkan kemampuan ekonominya. UKT ditetapkan berdasarkan biaya kuliah
tunggal dikurangi biaya yang ditanggung oleh pemerintah. Setiap PTN/PTAIN,
termasuk Universitas Terbuka (UT) wajib memberlakukan UKT yang telah disetujui
dan ditetapkan oleh Mendikbud Republik Indonesia mulai tahun akademik 2013 –
2014.
Ada
tiga hal yang perlu ditegaskan, yaitu UKT, BKT dan SPI. Berdasarkan Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2013
tentang, BKT dan UKT pada PTN di lingkungan Kemendikbud.
Adapun
beberapa poin penting dalam pasal-pasal peraturan menteri tersebut yang
menjelaskan secara rinci tentang BKT dan UKT antara lain: Pasal 1; 1 Biaya Kuliah
Tunggal merupakan keseluruhan biaya operasional per mahasiswa per semester pada
program studi di perguruan tinggi negeri; 2 Biaya Kuliah Tunggal digunakan
sebagai dasar penetapan biaya yang dibebankan kepada mahasiswa masyarakat dan pemerintah;
3 Uang Kuliah Tunggal merupakan sebagian Biaya Kuliah Tunggal yang ditanggung
setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya dan 3 Uang kuliah tunggal
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan biaya kuliah tunggal
dikurangi biaya yang ditanggung oleh pemerintah.
Kemudian,
perubahan Kemendikbud yang “pecah gerbong” yang melahirkan Kemenristek Dikti
sejak 2014 juga melahirkan “anak-anak ekonomis” yang tidak “mengotak-atik” UKT
bertambah dengan BKT dan SPI. Namun intinya sama seperti UKT.
Hitam Putih UKT
Ada
sejumlah noda hitam dan bercak putih dalam penerapan UKT sejak 2013 sampai 2017
ini. Hitamnya, pertama adanya perubahan sistem yang tidak seimbang. Mahasiswa
harus membayar sesuai UKT, namun pelayanan sama, jadi hanya kebijakannya yang
“rasa UKT”. Penelitian Milwan and Ratih
(2014) menunjukkan ada perubahan mendasar kampus dalam pelayanan mahasiswa
pasca ditetapkannya UKT pada 2013. Kenyataannya, implementasi UKT berimplikasi
perubahan layanan kepada mahasiswa belum sepenuhnya telah dilaksanakan,
misalnya masih ada layanan bimbingan praktik, dan praktikum.
Kedua,
dalam perjalanannya, UKT yang digadang-dagang menjadi sistem “murah” bagi
mahasiswa, namun paradoks. Sebab, UKT menjadi semacam “labeling” yang justru
menjadikan kampus semakin mahal. Apalagi, bagi PTN yang berstatus PTN-BH. Katakan
saja UI, Undip dan sejumlah PT lain.
Ketiga,
dari aspek akademik, adanya ketimpangan antarprodi. Sebab, UKT berakibat
mendikotomikan prodi di tiap PTN. Yang mahal makin mahal, yang murah makin
murah. Sehingga, ada prodi yang diserbu calon mahasiswa, ada pula yang
ditinggalkan.
UKT Undip
Dikutip
dari laman resmi Undip, biaya studi di Undip menggunakan sistem UKT yang
dirumuskan berdasarkan BKT. Sistem UKT terdiri atas golongan 1 sampai 7.
Terdapat perbedaan dari setiap jalur dari sistem ini yaitu Program Sarjana
Strata 1 (S1) dan Program Diploma III (D3).
Untuk
S1, pertama, jalur SNMPTN dan SBMPTN; pembayaran studi hanya biaya SPP berdasarkan
UKT dari Golongan 1-7. Pembagian golongan itu berdasarkan usulan dari calon
mahasiswa yang bersangkutan. Calon
mahasiswa dapat memilih UKT golongan 7 atau lainnya pada saat mengisi
registrasi online calon mahasiswa
baru.
Kedua,
jalur Ujian Mandiri (UM S1). Tahun 2016 pembayaran studi terdiri atas biaya SPP
dari UKT golongan 7 dan biaya SPI. Biaya SPI hanya dibayarkan sekali selama
studi pada awal semester 1. Untuk SPI tersebut terdiri atas golongan 1 dan 2,
di mana calon mahasiswa bisa memilih golongan saat mau mendaftar menjadi
peserta Ujian Mandiri S1 (pilihan terdapat pada pengisian formulir online). Biaya pendidikan UM S1 tahun 2017 masih dalam proses.
Ketiga,
jalur Ujian Mandiri (UM S1) Kelas Internasional. Pembayaran studi hanya biaya
SPP sebesar Rp. 20.000.000 per semester,
1 sampai 7. Kelas Internasional (IUP) yang dibuka saat ini Akuntansi,
Manajemen, Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, dan Teknik Kimia.
Untuk
Program Diploma III (D3), pertama jalur PSSB pembayaran studi hanya biaya SPP
berdasarkan UKT dari golongan 1 sampai 7. Pembagian golongan tersebut berdasarkan
usulan dari calon mahasiswa yang bersangkutan.
Calon mahasiswa dapat memilih UKT Golongan 7 atau lainnya pada saat
mengisi registrasi online calon
mahasiswa baru.
Kedua,
jalur Ujian Mandiri (UM DIII). Tahun 2016 pembayaran studi terdiri atas biaya
SPP dari UKT golongan 4-7 dan biaya SPI. Biaya SPI hanya dibayarkan sekali
selama studi pada awal semester 1. Untuk SPI jalur Ujian Mandiri D-III hanya 1
golongan saja sebesar Rp. 5.000.000.
Untuk tahun 2017 masih dalam proses.
Program
Pascasarjana (S2/S3) Undip tidak menggunakan sistem UKT. Biaya studi sesuai
dengan biaya pada masing-masing program studi terdiri atas biaya SPP per
semester dan biaya SPI.
Untuk
Banding UKT calon peserta dapat mengajukan banding atas UKT khusus jalur
SNMPTN, SBMPTN dan PSSB D-III. Syaratnya, dengan tata tertib sesuai SK Rektor
NO. 28/UN7.P/PHK/2016 Tanggal 15 Juni 2016 Tentang Perubahan Biaya Studi Jalur
PPSB Diploma III dan Jalur SNMPTN Sarjana S1.
Ora Kuat, Tuhan!
Melihat
anggaran belanja Undip memang memukau. Data yang dijelaskan PR I Undip Prof.
Dr. Ir. Muhammad Zainuri, DEA pada Jum’at, 1 April 2016, angka belanja Undip Rp
806 miliar. Dalam neraca itu, disebutkan
BOPTN jumlahnya adalah Rp 90 miliar. Sementara dana riset Undip menjadi Rp.40
miliar di tahun ini (Antara, 9/3/2017).
Biaya
UKT seperti dijelaskan Zainuri, bersumber pada neraca keuangan. Selisih di
antara BKT dan UKT itulah yang menjadi subsidi negara. Pada dasarnya, hampir
semua mahasiswa Undip terutama jenjang S1 itu mendapatkan subsidi dari negara.
Jika negara memang tidak mencukupi subsidinya karena angkanya cuman Rp 90
miliar, maka tugas Undip mencarikan beasiswa dari berbagai lembaga.
Besaran
UKT Undip 2017-2018 belum dirillis dan dalam proses. Namun berdasarkan besaran
UKT sebelumnya yang saya kutip dari undip.ac.id,
ada sejumlah besaran yang ditetapkan.
Pertama,
UTK persemester S1 untuk golongan 1 Rp.500.000, golongan 1 Rp. 1.000.000,
golongan 3 Rp. 3.000.000, golongan 4 Rp.4.000.000, golongan 5 Rp.5.000.000,
golongan 6 Rp.6.000.000 dan golongan 7 Rp.7.000.000 - Rp.7.500.000 kecuali
Kedokteran Umum sebesar Rp.19.000.000. Sementara untuk BKT sebesar Rp.7.011.000
sampai dengan Rp.10.786.000 sesuai dengan prodi.
Kedua,
UKT untuk D-III, golongan 1 Rp.500.000, golongan 2 Rp.1.000.000, golongan 3
Rp.2.000.000, golongan 4 Rp. 3.000.000, golongan 5 Rp.4.000.000 dan golongan 7
Rp.4.500.000. Sementara BKT sekitar Rp. 7.011.000 sampai dengan Rp.10.141.000
sesuai dengan prodinya.
Prinsip
pendidikan dalam PTN adalah “kampus rakyat”. Sebab, Undip adalah kampusnya
rakyat, bukan kampusnya Kemenristek Dikti, Rektor, Dekan, dan juga kampusnya
golongan serta rezim tertentu. Jadi, besaran UKT di atas memang ada yang kuat
dan ada yang tidak.
Kampus
yang menerapkan UKT harus berbenah. Artinya, birokrasi tidak sekadar menuntut
“kenaikan UKT”. Sebab, bagi mahasiswa yang mampu membayar UKT sesuai tingkat
pendapatan orangtua (mencakup golongan 1–5), akan mengalami kecenderungan naik.
Sebab, kampus menyesuaikan kebutuhan aspek akademik, keuangan (anggaran
belanja), gaji dosen/karyawan dan sarana-prasarana.
Di
sini, perlu dikritisi adalah penggolongan berdasarkan seleksi masuk. Secara
nasional ditetapkan penerimaan mahasiswa baru melalui 3 tahap (SNMPTN, SBMPTN
dan UM). SNMPTN ditetapkan jumlahnya 40%. Mahasiswa yang diterima melalui
SBMPTN jumlahnya 30% dan UM jumlahnya adalah 30%.
Mahasiswa
yang diterima “jalur mandiri” harus mampu melaksanakan “pembayaran UKT secara
mandiri”. Karena yang diterima melalui mandiri itu tidak mendapatkan subsidi dari
selisih BKT dan UKT, maka otomatis berada di golongan 7. Wah, berat!
Ini
bukan kebijakan Undip, melainkan regulasi paket nasional dari Kemenristek
Dikti. Meski naif, namun UKT mengajarkan demokrasi karena ada potensi
“banding”. Lobi-lobi pun terjadi dengan adanya “Banding UKT”.
UKT
melahirkan demokrasi, sekaligus melahirkan potensi pemalsuan data yang sama
saja melakukan “kejahatan akademik”. Paketnya lengkap, hampir sama seperti
sistem demokrasi yang membawa “catat bawaan”. Masalahnya, apakah UKT benar-benar
meringankan mahasiswa?
0 komentar:
Post a Comment