Pati, HI STUDY CENTRE - Buku karya Hamidulloh Ibda, berjudul "Sing Penting NUlis Terus (Panduan Praktis Menulis Artikel dan Esai di Koran)" di bedah di MA. Manahijul Huda (MAHIDA) Ngagel, Kecamatan Dukuhseti, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Menurut dia, Pelajar dan juga aktivis Lembaga Pers Siswa (LPS) Cendekia MA. Manahijul Huda (MAHIDA) Ngagel, Dukuhseti, Pati dilarang buta literasi, khususnya literasi digital sebagai salah satu kemampuan dasar dalam bermedia.
Hal itu diungkapkan Hamidulloh Ibda penulis buku "Sing Penting NUlis Terus (Panduan Praktis Menulis Artikel dan Esai di Koran)" pada Kamis siang (5/10/2017) di aula MA. MAHIDA Ngagel yang digelar LPS Cendekia dan Penerbit Formaci.
Dosen STAINU Temanggung itu juga menegaskan bahwa hakikat manusia tidak hanya makhluk berpikir, rasional atau animal rationale. "Namun manusia itu animal simbolioum atau ahluk yang dapat memahami simbol, menyukai simbol atau makhluk berbahasa," jelas pengajar mata kuliah Filsafat Ilmu tersebut.
Maka dari itu, menurut dia, keunikan manusia itu bisa berbasa secara lengkap, baik huruf konsonan mau vokal, juga bahasa lisan maupun tulisan. "Kalau kita bisa ngomong apa saja, berbahasa Jawa, Indonesia, Arab, Inggris, dan lainnya. Namun kalau kerbau misalnya, ya hanya seperti itu. Anjing, ya hanya gak guk gitu tok. Tetapi kita manusia diberi kelebihan luar biasa oleh Tuhan dan harus dimanfaatkan," beber pria yang pernah belajar di MA. MAHIDA tersebut.
Penulis buku Demokrasi Setengah Hati ini juga menegaskan, bahwa saat ini sudah digelorakan gerakan literasi di mana-mana. "Literasi itu bukan sekadar empat kemampuan berbahasa, namun juga berkaitan dengan melek komputer, IT, bahkan cyber. Yang paling saya suka itu, adalah literasi itu dimaknai sebagai segala usaha untuk mendapatkan pengetahuan, termasuk bedah buku ini," lanjut dia.
Ia tidak mengajak peserta untuk menjadi penulis, namun kalau ingin nama mengabadi dan punya karya intelektual harus menulis. "Sekali lagi, tidak ada tokoh besar tanpa tulisan. Alquran saja kalau tidak dibukukan atau jadi mushaf itu, saya yakin Islam tidak berkembang sampai sekarang kok. Jadi betapa pentingnya tulisan itu," tegas pria kelahiran Dukuhseti itu.
Sementara itu, Barorotul Ulfa guru MA. MAHIDA Ngagel pembedah buku menjelaskan secara rinci isi dari buku tersebut. "Buku ini secara umum tidak ada kekurangannya. Dan ketika saya baca, enak kok. Bahasa simpel dan mudah dipahami. Itu tidak hanya saya, namun Bu Eva juga demikian. Pokoknya, semua pertanyaan ada di sini," beber dia.
Kekurangannya, kata dia, buku ini fokus ke opini. "Ya bukan kekurangan sih, justru karena fokus ini menjadi kelebihan," beber mahasiswi Pascasarjana Unnes itu.
Selain itu, ia juga mempertanyakan judul buku yang ada kata NU yang ditulis huruf kapital. Baginya, ini ada nuansa politik yang mengajak pembaca untuk menulis dan menjadi NU.
Usai pemaparan, peserta diajak dialog dan tanya jawab seputar isi buku. Melalui bedah buku ini, ke depan Penerbit Formaci dan LPS Cendekia akan bersinergi menerbitkan buku-buku karya pelajar MA. MAHIDA. (adm)
Menurut dia, Pelajar dan juga aktivis Lembaga Pers Siswa (LPS) Cendekia MA. Manahijul Huda (MAHIDA) Ngagel, Dukuhseti, Pati dilarang buta literasi, khususnya literasi digital sebagai salah satu kemampuan dasar dalam bermedia.
Hal itu diungkapkan Hamidulloh Ibda penulis buku "Sing Penting NUlis Terus (Panduan Praktis Menulis Artikel dan Esai di Koran)" pada Kamis siang (5/10/2017) di aula MA. MAHIDA Ngagel yang digelar LPS Cendekia dan Penerbit Formaci.
Dosen STAINU Temanggung itu juga menegaskan bahwa hakikat manusia tidak hanya makhluk berpikir, rasional atau animal rationale. "Namun manusia itu animal simbolioum atau ahluk yang dapat memahami simbol, menyukai simbol atau makhluk berbahasa," jelas pengajar mata kuliah Filsafat Ilmu tersebut.
Maka dari itu, menurut dia, keunikan manusia itu bisa berbasa secara lengkap, baik huruf konsonan mau vokal, juga bahasa lisan maupun tulisan. "Kalau kita bisa ngomong apa saja, berbahasa Jawa, Indonesia, Arab, Inggris, dan lainnya. Namun kalau kerbau misalnya, ya hanya seperti itu. Anjing, ya hanya gak guk gitu tok. Tetapi kita manusia diberi kelebihan luar biasa oleh Tuhan dan harus dimanfaatkan," beber pria yang pernah belajar di MA. MAHIDA tersebut.
Penulis buku Demokrasi Setengah Hati ini juga menegaskan, bahwa saat ini sudah digelorakan gerakan literasi di mana-mana. "Literasi itu bukan sekadar empat kemampuan berbahasa, namun juga berkaitan dengan melek komputer, IT, bahkan cyber. Yang paling saya suka itu, adalah literasi itu dimaknai sebagai segala usaha untuk mendapatkan pengetahuan, termasuk bedah buku ini," lanjut dia.
Ia tidak mengajak peserta untuk menjadi penulis, namun kalau ingin nama mengabadi dan punya karya intelektual harus menulis. "Sekali lagi, tidak ada tokoh besar tanpa tulisan. Alquran saja kalau tidak dibukukan atau jadi mushaf itu, saya yakin Islam tidak berkembang sampai sekarang kok. Jadi betapa pentingnya tulisan itu," tegas pria kelahiran Dukuhseti itu.
Sementara itu, Barorotul Ulfa guru MA. MAHIDA Ngagel pembedah buku menjelaskan secara rinci isi dari buku tersebut. "Buku ini secara umum tidak ada kekurangannya. Dan ketika saya baca, enak kok. Bahasa simpel dan mudah dipahami. Itu tidak hanya saya, namun Bu Eva juga demikian. Pokoknya, semua pertanyaan ada di sini," beber dia.
Kekurangannya, kata dia, buku ini fokus ke opini. "Ya bukan kekurangan sih, justru karena fokus ini menjadi kelebihan," beber mahasiswi Pascasarjana Unnes itu.
Selain itu, ia juga mempertanyakan judul buku yang ada kata NU yang ditulis huruf kapital. Baginya, ini ada nuansa politik yang mengajak pembaca untuk menulis dan menjadi NU.
Usai pemaparan, peserta diajak dialog dan tanya jawab seputar isi buku. Melalui bedah buku ini, ke depan Penerbit Formaci dan LPS Cendekia akan bersinergi menerbitkan buku-buku karya pelajar MA. MAHIDA. (adm)
0 komentar:
Post a Comment