Pati - Meski suasana libur dan Lebaran Idulfitri 1440 H, jajaran redaksi Lembaga Pers Siswa (LPS) Cendekia MA Manahijul Huda Ngagel menyempatkan silaturahmi dan diskusi dengan Pengurus Lembaga Pendidikan (LP) Ma'arif PWNU Jawa Tengah Hamidulloh Ibda pada Rabu (5/6/2019) sore. Mereka didampingi Pimpinan Umum Finaul dan Pembina LPS Cendekia Eva Yulia Kolopaking.
Dalam kesempatan itu, mereka berdiskusi dan mewawancarai Hamidulloh Ibda yang juga Kaprodi PGMI STAINU Temanggung dengan tema "Degradasi Moral Remaja".
"Kalau ini masalah kerusakan, maka kita dapat meminjam terminologi itu dalam Alquran. Pertama adalah kerusakan di bidang intelektual, akal, logika, maka biasa disebut jahil atau jahiliyah. Bodoh lah secara sederhana. Kedua adalah fasad, kerusakan di bidang moral. Ketiga, adalah zulumat, ini kerusakan yang kompleks. Ya akal ya moral. Nah, keempat adalah kerusakan tingkat tinggi yaitu kiamat. Pertanyaannya, yang dimaksud dengan moral remaja sekarang di wilayah mana?" Tegas penulis buku Stop Pacaran, Ayo Nikah! dan Stop Nikah, Ayo Pacaran! tersebut.
Pimred Majalah Mopdik LP Ma'arif PWNU Jateng ini juga menegaskan, dari kerusakan itu, Prof Thomas Lickona dalam bukunya menegaskan ada 10 indikator kerusakan suatu bangsa. Mulai dari meningkatnya kekerasan di kalangan remaja atau bahkan anak-anak, membudayanya ketidakjujuran, sikap fanatik terhadap kelompok/grup (geng) tertentu, rendahnya rasa hormat terhadap orang tua atau guru, semakin kaburnya moral baik dan buruk, penggunaan tutur bahasa yang kian bad languange, atau pemakaian bahasa buruk, bisa akian, cacian, ejekan, ujaran kebencian, fitnah, hoaks, tanpa memperhatikan perasaan orang lain.
Kemudian juga meningkatnya perilaku yang merusak diri seperti penggunaan narkoba, alkohol, judi dan seks bebas, rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan sebagai warga negara, menurunnya etos kerja dan adanya rasa saling curiga dan terakhir kurangnya kepedulian di antara sesama.
Jika sudah mengarah ke sana, maka perlu diatasi dan diputus mata rantainya. "Harus dipetakan, apakah kenakalan atau kerusakan moral remaja ini di wilayah pendidikan, kenakalan sudah wilayah pidana atau sosial. Sebab, kalau kenakalan remaja di wilayah pendidikan seperti membolos, rambut disemir, baju tidak dimasukkan, ini tugasnya sekolah. Kecuali sudah wilayah pidana misal mencuri, judi, minum-minuman keras, tawuran, seks bebas, ini tugas sosial, keluarga dan penegak hukum," tegas penulis buku Demokrasi Setengah Hati itu.
Untuk itu, ia memberikan beberapa tawaran solusi. Pertama, penguatan peran keluarga sebagai sekolah pertama bagi anak atau pelajar. "Kebanyakan, orangtua hanya memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan pada anak. Namun kebutuhan gizi moral mereka terbaikan, maka wajar anak kurang perhatian dan akhirnya nakal," beber dia.
Kedua, perlu pelibatan keluarga pada satuan pendidikan lewat sinergi dengan sekolah. "Penelitian saya, adanya paguyuban kelas sangat berdampak positif untuk mengurangi kenakalan anak," tegas dia.
Ketiga, perlu adanya wadah bagi remaja agar ide, keinginan, dan bakatnya tersalurkan. "Sekolah khususnya wali kelas dan guru harus mampu mendeteksi kecenderungan anak ini apa. Ada anak yang berbakat di jurnalistik, olahraga, seni, pramuka, teater, maka semua harus diwadahi. Nah, karena tidak ada katarsis atau pelamliasan, maka mereka nganggur, nongkrong, yang akhirnya berbuat anomali," kata pria kelahiran Pati 17 Juni itu.
Maka, kata Ibda, sibukkan diri di kegiatan positif di bidang apapun. "Yang suka jurnalistik, aktiflah di LPS, misalnya, yang suka seni, ya aktiflah berkarya di bidang seni, yang suka berorganisasi, ikutlah IPNU-IPPNU, yang suka pramuka, aktiflah di SAKA Bayangkara, dan yang lain. Yang pentig jangan nganggur," papar penulis buku Konsep dan Aplikasi Literasi Baru di Era Revolusi Industri 4.0 tersebut.
Ia juga mengajak para aktivis LPS untuk giat menghidupkan pilar literasi, baik membaca, menulis, dan mengarsipkan. "LPS Cendekia ini sangat produktif dan bagus. Selain aktif meliput kegiatan, karya berupa mading juga sudah jalan dan sudah menghasilkan buku antologi puisi," lanjut dia. (Adm).
Dalam kesempatan itu, mereka berdiskusi dan mewawancarai Hamidulloh Ibda yang juga Kaprodi PGMI STAINU Temanggung dengan tema "Degradasi Moral Remaja".
"Kalau ini masalah kerusakan, maka kita dapat meminjam terminologi itu dalam Alquran. Pertama adalah kerusakan di bidang intelektual, akal, logika, maka biasa disebut jahil atau jahiliyah. Bodoh lah secara sederhana. Kedua adalah fasad, kerusakan di bidang moral. Ketiga, adalah zulumat, ini kerusakan yang kompleks. Ya akal ya moral. Nah, keempat adalah kerusakan tingkat tinggi yaitu kiamat. Pertanyaannya, yang dimaksud dengan moral remaja sekarang di wilayah mana?" Tegas penulis buku Stop Pacaran, Ayo Nikah! dan Stop Nikah, Ayo Pacaran! tersebut.
Pimred Majalah Mopdik LP Ma'arif PWNU Jateng ini juga menegaskan, dari kerusakan itu, Prof Thomas Lickona dalam bukunya menegaskan ada 10 indikator kerusakan suatu bangsa. Mulai dari meningkatnya kekerasan di kalangan remaja atau bahkan anak-anak, membudayanya ketidakjujuran, sikap fanatik terhadap kelompok/grup (geng) tertentu, rendahnya rasa hormat terhadap orang tua atau guru, semakin kaburnya moral baik dan buruk, penggunaan tutur bahasa yang kian bad languange, atau pemakaian bahasa buruk, bisa akian, cacian, ejekan, ujaran kebencian, fitnah, hoaks, tanpa memperhatikan perasaan orang lain.
Kemudian juga meningkatnya perilaku yang merusak diri seperti penggunaan narkoba, alkohol, judi dan seks bebas, rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan sebagai warga negara, menurunnya etos kerja dan adanya rasa saling curiga dan terakhir kurangnya kepedulian di antara sesama.
Jika sudah mengarah ke sana, maka perlu diatasi dan diputus mata rantainya. "Harus dipetakan, apakah kenakalan atau kerusakan moral remaja ini di wilayah pendidikan, kenakalan sudah wilayah pidana atau sosial. Sebab, kalau kenakalan remaja di wilayah pendidikan seperti membolos, rambut disemir, baju tidak dimasukkan, ini tugasnya sekolah. Kecuali sudah wilayah pidana misal mencuri, judi, minum-minuman keras, tawuran, seks bebas, ini tugas sosial, keluarga dan penegak hukum," tegas penulis buku Demokrasi Setengah Hati itu.
Untuk itu, ia memberikan beberapa tawaran solusi. Pertama, penguatan peran keluarga sebagai sekolah pertama bagi anak atau pelajar. "Kebanyakan, orangtua hanya memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan pada anak. Namun kebutuhan gizi moral mereka terbaikan, maka wajar anak kurang perhatian dan akhirnya nakal," beber dia.
Kedua, perlu pelibatan keluarga pada satuan pendidikan lewat sinergi dengan sekolah. "Penelitian saya, adanya paguyuban kelas sangat berdampak positif untuk mengurangi kenakalan anak," tegas dia.
Ketiga, perlu adanya wadah bagi remaja agar ide, keinginan, dan bakatnya tersalurkan. "Sekolah khususnya wali kelas dan guru harus mampu mendeteksi kecenderungan anak ini apa. Ada anak yang berbakat di jurnalistik, olahraga, seni, pramuka, teater, maka semua harus diwadahi. Nah, karena tidak ada katarsis atau pelamliasan, maka mereka nganggur, nongkrong, yang akhirnya berbuat anomali," kata pria kelahiran Pati 17 Juni itu.
Maka, kata Ibda, sibukkan diri di kegiatan positif di bidang apapun. "Yang suka jurnalistik, aktiflah di LPS, misalnya, yang suka seni, ya aktiflah berkarya di bidang seni, yang suka berorganisasi, ikutlah IPNU-IPPNU, yang suka pramuka, aktiflah di SAKA Bayangkara, dan yang lain. Yang pentig jangan nganggur," papar penulis buku Konsep dan Aplikasi Literasi Baru di Era Revolusi Industri 4.0 tersebut.
Ia juga mengajak para aktivis LPS untuk giat menghidupkan pilar literasi, baik membaca, menulis, dan mengarsipkan. "LPS Cendekia ini sangat produktif dan bagus. Selain aktif meliput kegiatan, karya berupa mading juga sudah jalan dan sudah menghasilkan buku antologi puisi," lanjut dia. (Adm).
0 komentar:
Post a Comment