Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Sunday, 20 October 2019

Zakat Produktif untuk Kemajuan Pendidikan

Ilustrasi (dok-penulis)

Oleh Hamidulloh Ibda
Dosen dan Ketua Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah STAINU Temanggung

Pemanfaatan zakat selama ini masih sebatas untuk kebutuhan konsumtif. Padahal, zakat harusnya produktif untuk kepentingan publik termasuk untuk memajukan pendidikan. Pada September 2015, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada penduduk miskin sekitar 28,51 juta orang atau 11,13 persen dari total jumlah penduduk di Indonesia. Lalu, bagaimana dengan mereka yang putus sekolah? Apakah akan terus dibiarkan? Dan pengelola zakat tutup mata dengan fenomena tersebut?

Data Kemdikbud sampai 2018, jumlah anak putus sekolah pendidikan dasar pada 2015/2016 sebanyak 60.066, dan pada 2017/2018 sebanyak 32.127 (Bisnis.com, 28/12/2018). Apakah angka ini hanya menjadi informasi? Tentu harus diputus mata rantai bahkan angkat putus sekolah itu sampai nol persen.

Pengelola zakat wajib melek literasi zakat agar zakat tidak sekadar utak-utek (berkutat) pada penggalangan saja, namun sudah pada pemberdayaan agar produktif, kreatif, dan berbasis pemberdayaan. Dana zakat dapat digunakan untuk pemberdayaan sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan kini problem mendasar kita adalah Sumber Daya Manusia (SDM). Hal itu juga menjadi program pokok dari Presiden-Wakil Presiden 2019-2024 saat ini yang harus didukung melalui penguatan pengelolaan zakat yang harus benar-benar produktif.

Zakat Produktif
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) menyebut zakat nasional dapat dipacu dikarenakan potensi zakat sebesar Rp 217 triliun. Namun, realisasi penghimpunan zakat nasional itu masih jauh dari potensinya. Rata-rata penyaluran zakat nasional sebesar 66,03 persen dari total zakat yang dihimpun. Tahun 2016, zakat berhasil disalurkan ke masyarakat Rp 2.931 miliar. Tahun 2017 Rp 4.860 miliar. Dari jumlah penyaluran zakat pada 2017, sebesar 78,1 persen telah disalurkan ke delapan golongan mustahik nasional (Rri.co.id, 5/3/2019).

Potensi zakat Rp 252 triliun dan baru bisa masuk Rp 8,1 triliun ke dalam Badan Amil Zakat Nasional (Cnbcindonesia.com, 16/5/2019). Dari data ini, artinya pemanfaatan atau pemberdayaan zakat masih belum produktif. Padahal, angka kemiskinan dan angka putus sekolah di atas masih tinggi. Secara konseptual, zakat tidak sekadar urusan penggalangannya saja. Namun tasaruf atau penyalurannya yang berdampak pada penguatan SDM sebagai bagian dari tantangan kemajuan Indonesia saat ini masih lemah.

Dalam risetnya, Nawawi (2010: 46) menemukan data bahwa ketika pengumpulan zakat dapat dioptimalkan dan pengelolaan serta pendayagunaannya dilakukan dengan manajemen baik dan profesional. Maka, zakat dapat dijadikan sumber dana potensial untuk mengatasi kemiskinan dan mengurangi kesenjangan distribusi pendapatan yang menjadi problem kronis di dunia ekonomi kita.

Salah satu musuh atau beban berat bangsa ini selain kemiskinan adalah pembangunan SDM. Artinya, SDM dapat dikuatkan melalui pemerataan pendidikan khususnya di jenjang SD/MI, SMP/MTs sampai SMA/SMK/MA. Dari realitas inilah, zakat harus dikelola dengan baik, produktif, dan mendukung visi Indonesia maju pada tahun 2045.

Memajukan Pendidikan
Kunci memajukan pendidikan di era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 ini adalah pada “kompetensi, karakter, literasi”. Ketiga konsep ini, harusnya dielaborasi oleh pengelola zakat dengan berbagai pemangku kepentingan. Sebab, kualitas SDM di Indonesia sangat ditentukan melalui pendidikan, dan pendidikan itu sangat didukung dengan adanya pemerataan pendidikan.

Dari itu, ada beberapa strategi untuk memajukan pendidikan melalui zakat produktif, baik dari jangka panjang atau jangka pendek. Pertama, program pengentasan angka putus sekolah yang berkualitas dan komprehensif. Kedua, memaksimalkan zakat profesi atau mal untuk alokasi pendidikan yang dikuatkan melalui lembaga pengelola zakat.

Kedua, penguatan literasi zakat kepada muzakki agar kesadaran mengeluarkan zakat lebih tinggi. Ketiga, pemberian beasiswa yang berasal dari pengelola zakat. Mereka dikader, diberdayakan, dan diprioritaskan menjadi agen untuk menyebarluaskan informasi literasi zakat yang berorientasi pada literasi zakat.

Keempat, kerjasama antarlembaga pengelola zakat, Kemdikbud, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas Islam) Kemenag dan sekolah untuk memberikan beasiswa pendidikan dari pemanfaatan dan zakat.

Kelima, penggalangan dana dari mereka yang tidak taat pajak karena tidak tahu bahwa mereka adalah muzakki. Untuk itu, literasi zakat ini menjadi intinya inti untuk menggalang dana zakat produktif untuk memajukan pendidikan.

Dengan konsep sederhana ini, zakat tidak sekadar menjadi bagian dari rukun Islam yang wilayahnya uluhiyah, namun juga berdampak pada pembangunan SDM bangsa Indonesia. Jika konsep ini terlaksana di semua provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, penulis yakin pada 2045, bangsa Indonesia akan terentaskan dalam belenggu angka putus sekolah dan ketertinggalan kualitas pendidikan.

Riset Widodo dan Kustiawan (2001: 84) menyebut pemberdayaan zakat produktif, yaitu penyaluran zakat produktif akan terjadi kemandirian ekonomi mustahik. Pada pemberdayaan ini disertai dengan pembinaan atau pendampingan atas usaha yang dilakukan. Salah satu bentuknya tentu dengan program bernas untuk memajukan pendidikan. Maka, zakat produktif untuk memajukan pendidikan menjadi harga mati.


Zakat produktif untuk memajukan pendidikan memang bukan segalanya, namun segalanya dapat berawal dari sana. Lalu, kapan kita akan menguatkan zakat produktif untuk memajukan pendidikan?

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Zakat Produktif untuk Kemajuan Pendidikan Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda