Ilustrasi (dok-penulis) |
Oleh Hamidulloh Ibda
Dosen dan Ketua Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah STAINU
Temanggung
Pemanfaatan zakat selama ini masih sebatas untuk kebutuhan konsumtif. Padahal,
zakat harusnya produktif untuk kepentingan publik termasuk untuk memajukan
pendidikan. Pada September 2015, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada
penduduk miskin sekitar 28,51 juta orang atau 11,13 persen dari total jumlah
penduduk di Indonesia. Lalu, bagaimana dengan mereka yang putus sekolah? Apakah
akan terus dibiarkan? Dan pengelola zakat tutup mata dengan fenomena tersebut?
Data Kemdikbud sampai 2018, jumlah anak putus sekolah pendidikan dasar pada
2015/2016 sebanyak 60.066, dan pada 2017/2018 sebanyak 32.127 (Bisnis.com,
28/12/2018). Apakah angka ini hanya menjadi informasi? Tentu harus diputus mata
rantai bahkan angkat putus sekolah itu sampai nol persen.
Pengelola zakat wajib melek literasi zakat agar zakat tidak sekadar utak-utek
(berkutat) pada penggalangan saja, namun sudah pada pemberdayaan agar produktif,
kreatif, dan berbasis pemberdayaan. Dana zakat dapat digunakan untuk pemberdayaan
sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan kini problem mendasar kita adalah Sumber Daya Manusia (SDM). Hal itu juga menjadi program pokok dari Presiden-Wakil Presiden 2019-2024
saat ini yang harus didukung melalui penguatan pengelolaan zakat yang harus
benar-benar produktif.
Zakat Produktif
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) menyebut zakat
nasional dapat dipacu dikarenakan potensi zakat sebesar Rp 217 triliun. Namun,
realisasi penghimpunan zakat nasional itu masih jauh dari potensinya. Rata-rata
penyaluran zakat nasional sebesar 66,03 persen dari total zakat yang dihimpun.
Tahun 2016, zakat berhasil disalurkan ke masyarakat Rp 2.931 miliar. Tahun 2017
Rp 4.860 miliar. Dari jumlah penyaluran zakat pada 2017, sebesar 78,1 persen
telah disalurkan ke delapan golongan mustahik nasional (Rri.co.id, 5/3/2019).
Potensi zakat Rp 252 triliun dan baru bisa masuk Rp 8,1 triliun ke dalam
Badan Amil Zakat Nasional (Cnbcindonesia.com, 16/5/2019). Dari data ini,
artinya pemanfaatan atau pemberdayaan zakat masih belum produktif. Padahal,
angka kemiskinan dan angka putus sekolah di atas masih tinggi. Secara konseptual,
zakat tidak sekadar urusan penggalangannya saja. Namun tasaruf atau penyalurannya
yang berdampak pada penguatan SDM sebagai bagian dari tantangan kemajuan
Indonesia saat ini masih lemah.
Dalam risetnya, Nawawi (2010: 46) menemukan data bahwa ketika
pengumpulan zakat dapat dioptimalkan dan pengelolaan serta pendayagunaannya
dilakukan dengan manajemen baik dan profesional. Maka, zakat dapat dijadikan
sumber dana potensial untuk mengatasi kemiskinan dan mengurangi kesenjangan
distribusi pendapatan yang menjadi problem kronis di dunia ekonomi kita.
Salah satu musuh atau beban berat bangsa ini selain kemiskinan adalah
pembangunan SDM. Artinya, SDM dapat dikuatkan melalui pemerataan pendidikan
khususnya di jenjang SD/MI, SMP/MTs sampai SMA/SMK/MA. Dari realitas inilah,
zakat harus dikelola dengan baik, produktif, dan mendukung visi Indonesia maju
pada tahun 2045.
Memajukan Pendidikan
Kunci memajukan pendidikan di era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0
ini adalah pada “kompetensi, karakter, literasi”. Ketiga konsep ini, harusnya
dielaborasi oleh pengelola zakat dengan berbagai pemangku kepentingan. Sebab,
kualitas SDM di Indonesia sangat ditentukan melalui pendidikan, dan pendidikan
itu sangat didukung dengan adanya pemerataan pendidikan.
Dari itu, ada beberapa strategi untuk memajukan pendidikan melalui zakat
produktif, baik dari jangka panjang atau jangka pendek. Pertama, program
pengentasan angka putus sekolah yang berkualitas dan komprehensif. Kedua,
memaksimalkan zakat profesi atau mal untuk alokasi pendidikan yang dikuatkan
melalui lembaga pengelola zakat.
Kedua, penguatan literasi zakat kepada muzakki agar kesadaran
mengeluarkan zakat lebih tinggi. Ketiga, pemberian beasiswa yang berasal dari
pengelola zakat. Mereka dikader, diberdayakan, dan diprioritaskan menjadi agen
untuk menyebarluaskan informasi literasi zakat yang berorientasi pada literasi
zakat.
Keempat, kerjasama antarlembaga pengelola zakat, Kemdikbud, Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas Islam) Kemenag dan sekolah untuk
memberikan beasiswa pendidikan dari pemanfaatan dan zakat.
Kelima, penggalangan dana dari mereka yang tidak taat pajak karena tidak
tahu bahwa mereka adalah muzakki. Untuk itu, literasi zakat ini menjadi intinya
inti untuk menggalang dana zakat produktif untuk memajukan pendidikan.
Dengan konsep sederhana ini, zakat tidak sekadar menjadi bagian dari
rukun Islam yang wilayahnya uluhiyah, namun juga berdampak pada
pembangunan SDM bangsa Indonesia. Jika konsep ini terlaksana di semua provinsi
dan kabupaten/kota di Indonesia, penulis yakin pada 2045, bangsa Indonesia akan
terentaskan dalam belenggu angka putus sekolah dan ketertinggalan kualitas
pendidikan.
Riset Widodo dan Kustiawan (2001: 84) menyebut pemberdayaan zakat produktif,
yaitu penyaluran zakat produktif akan terjadi kemandirian ekonomi mustahik.
Pada pemberdayaan ini disertai dengan pembinaan atau pendampingan atas usaha
yang dilakukan. Salah satu bentuknya tentu dengan program bernas untuk
memajukan pendidikan. Maka, zakat produktif untuk memajukan pendidikan menjadi
harga mati.
Zakat produktif untuk memajukan pendidikan memang bukan segalanya, namun
segalanya dapat berawal dari sana. Lalu, kapan kita akan menguatkan zakat
produktif untuk memajukan pendidikan?
0 komentar:
Post a Comment