Teruntuk bapakku, Ngalimun, beliau yang mengajari kegigihan hidup. Dulu, saat kecil aku sering "digebuki" karena kenakalanku. Aku yang salatnya telat, selalu "maido" ketika didukani, aku yang tidak bisa membahagiakanmu ini, tidak bisa menirumu seratus persen, Pak.
Dulu, aku ingat, ingat sekali, menjelang Bapak mau khutbah di masjid, beliau berkata "Ib, adus jumatan."
Aku bilang "mangke". Lalu aku kencing "ngacar" dan malah, tititku kena selerekan dan nyangkut sambil nangis-nangis. Gero-gero kalau bahasa Patinya.
Seketika, bapakku waktu masih mandi, langsung memakai handuk, dan menyobek celanaku hingga akhirnya tititku sobek. Aku menangis hingga bapak usai jumatan. Lalu, aku ditumpakke sepeda onthel ke Tayu untuk disunatkan. Haduh.
Hingga akhirnya, tahun 1999, bapak divonis kena penyakit paru-paru. Karena dulu usai menyunatkanku, beliau riwa-riwi usai meninggalnya Pak Kardi Ketua RT 02 RW 04 Desa Dukuhseti, beliau sering riwa-riwi malam hari.
Lalu, satu tahun berobat intens di BP4 Pati, dan sembuh. Kambuh lagi, berobat intens enam bulan di RAA Swondo Pati, tapi kemarin kumat lagi dan masuk KSH Pati, dan disebut dokter gagal pengobatan. Lalu pulang, dan Senin 15 Juni 2020, kontrol ke KSH lagi. Tapi Selasa 16 Juni 2020, kondisi menegangkan, karena sudah tidak bisa berbuat apa-apa lantaran penyakitnya semakin parah.
Pada 17 Juni 2020, saat ulang tahunku ke-30, semakin parah lagi. Lalu sekitar pukul 09.00 WIB Kamis 18 Juni 2020, semakin parah dan keluarga, tetangga semua histeris membacakan yakin.
Lalu, bapak sadar dan berujar "Iki piyeleh, kok ngene rasane, gowo rumah sakit wae". Setelah beliau bilang demikian, saya, ibuku, Pak Lek Zawi, Bu Lek Dah, dek Nila, dan Pak De Luri mengantarnya ke rumah sakit. Rencananya ke KSH Pati.
Sesampainya di Kajen, kondisi makin parah. Badan dingin, ambekan kempis-kempis, kami di mobil menuntunnya membaca "Allah, Allah, Allah" tak henti-hentinya.
Sesampainya di Runting, kami memutuskan membawanya ke RAA Swondo dan langsung belok kiri ke IGD RAA Swondo. Usai masuk ke IGD, sebelum masuk, aku bilang ke ibuku. "Buk, mangke aku wangsul, ngantar Dian, sesuk rapotan. Bakdo ngantar, mangke mriki maleh". "Yo, le, ati-ati" pesan ibuku.
Hanya beberapa menit, ya, hanya beberapa menit, Nila ke luar, karena aku, Lek Zawi dan De Luri menunggu di luar, Nila bilang "Dade wes gak ono". Ini pukul 10.35 WIB
Aku lari masuk, mak tratap rasanya. Dan, aku segera ngabari rumah. Sampai akhirnya, bapakku dibawa ke rumah dan disemayamkan. Untuk terakhir kalinya, aku melihat fisikmu, aku hanya bisa membopongmu, memandikanmu, menziarahimu, Pak.
Pejuang Desa
Bapak kecil, hingga remaja bahkan sampai tua, dikenal sebagai pejuang. Ya, seingatku, bapakku pernah jadi Ketua IPNU Dukuhseti selama dua periode. Juga Ketua GP Ansor Dukuhseti dua periode juga. Bapakku juga Ketua Yayasan Jamaah Pasrah, guru MI dan SMK, Kaur Kesra Desa Dukuhseti, pernah Ketu LKMD, pengurus Jamaah Pengamal Manaqib Jawahirul Ma'ani, Tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah, Ketua Pengurus Makam Mbah Brojoseti Singo Barong. Terakhir, bapakku menjadi Pengurus Ranting NU Dukuhseti.
Bapakku, yang kukenal, tidak banyak omong. Tapi, sedikit omong banyak kerja. Tirakatnya tinggi. Sejak aku kecil, hingga kemarin menjelang meninggal dunia pun, bapakku masih istikamah puasa Senin-Kamis. Aku tak bakalan bisa menirunya.
Aku pun bersaksi, bapakku orang baik. Ia menjadi kiai desa dengan mengasuh Musala Nurussalam, menjadi khatib di Masjid Darul Islah Dukuhseti, dan masjid-masjid yang lain. Mengisi pengajian, tahlilan, burdahan, dan segala tradisi Islam di mana-mana. Waktunya habis untuk umat.
Saat Mas Kades Dukuhseti Ahmad Rifai, MH memberi sambutan sebelum jenazah diberangkatkan pun berkata "Pak Ngalimun puniko pejuang. Sosok ingkang peduli kaleh masyarakat. Kulo nyekseni piyambak," kata Mas Kades.
Kiai Muslim Assalamy Alhafiz pun, sebagai kiai, MUI, Wakil Ketua LBM NU pun menyaksikan bapakku di dan publik saat memberi mauidah hasanah. "Pak Ngalimun puniko, rencang ngaji, turon, teng Masjid Alwaqor Kedawung. Piyambake senior, kulo yuniore. Kulo paham, Pak Ngalimun niki nggeh tiyang ingkang manfaat kagem masyarakat sampai sak meniko," kata Kiai Muslim.
Aku pun menyaksikan, jika dihitung mungkin ada seribu lebih orang yang takziah. Dari siang hingga malam hari, parkiran di depan Musala Nurussalam depan rumah, full. Orang datang, pergi, datang dan pergi silih berganti.
Tak hanya dari Pati, mereka datang dari Jepara, Blora, Semarang, Kudus, Demak, Lamongan, hingga teman-teman kampus dari LP Ma'arif PWNU Jateng juga ke sini. Unsur-unsur dari Bakdo TPQ, NU, Muslimat, Fatayat, Yayasan Jamaah Pasrah, SMK JAPA, Pemerintah Desa Dukuhseti, juga takziah. Sampai tahlilan pun, ada sekitar 1000 an orang, baik bapak-bapak maupun ibu-ibu. Dan, yang aku suka, yang mimpin tahlil Ketua Ranting NU Dukuhseti Kiai Islahuddin sampai ketujuh harinya. Mungkin itu secuil bukti, bahwa jenengan tiyang sae.
Jenengan meninggal juga tepat hari Kamis, menjelang malam Jumat. Kata kiai-kiai, orang yang meninggal hari Kamis atau Jumat itu orang baik. Semoga saja demikian.
Tapi, apa lah arti itu semua. Bapak sudah tiada. Beliau menempuh pendidikannya di MI, MTs, MA Manahijul Huda Ngagel Dukuhseti. Meski hidup di desa, bapak adalah sarjana lulusan Unwahas Semarang.
Semoga amal ibadahmu diterima Allah Swt, Pak. Semoga anakmu ini dapat meneruskan perjuanganmu. Aku juga kaget, hadiah ulang tahunku ke-30 ini harus kehilanganmu untuk selamanya.
Tapi, ini adalah kehendak Allah. Semua akan kembali pada-Nya. Dari anakmu yang paling nakal, semoga dapat meneruskan perjuangamu.
Bapak terbiasa memandikan, ngulesi, mengafani, mengazani, mentalkin, menahlilkan mayit, kini beliau lah yang dimandikan, diulesi, dikafani, diazani, ditalkin, ditahlilkan.
Selamat jalan, Pak. Semoga khusnul khatimah.
Dukuhseti, 24 Juni 2020
Hamidulloh Ibda
Dulu, aku ingat, ingat sekali, menjelang Bapak mau khutbah di masjid, beliau berkata "Ib, adus jumatan."
Aku bilang "mangke". Lalu aku kencing "ngacar" dan malah, tititku kena selerekan dan nyangkut sambil nangis-nangis. Gero-gero kalau bahasa Patinya.
Seketika, bapakku waktu masih mandi, langsung memakai handuk, dan menyobek celanaku hingga akhirnya tititku sobek. Aku menangis hingga bapak usai jumatan. Lalu, aku ditumpakke sepeda onthel ke Tayu untuk disunatkan. Haduh.
Hingga akhirnya, tahun 1999, bapak divonis kena penyakit paru-paru. Karena dulu usai menyunatkanku, beliau riwa-riwi usai meninggalnya Pak Kardi Ketua RT 02 RW 04 Desa Dukuhseti, beliau sering riwa-riwi malam hari.
Lalu, satu tahun berobat intens di BP4 Pati, dan sembuh. Kambuh lagi, berobat intens enam bulan di RAA Swondo Pati, tapi kemarin kumat lagi dan masuk KSH Pati, dan disebut dokter gagal pengobatan. Lalu pulang, dan Senin 15 Juni 2020, kontrol ke KSH lagi. Tapi Selasa 16 Juni 2020, kondisi menegangkan, karena sudah tidak bisa berbuat apa-apa lantaran penyakitnya semakin parah.
Pada 17 Juni 2020, saat ulang tahunku ke-30, semakin parah lagi. Lalu sekitar pukul 09.00 WIB Kamis 18 Juni 2020, semakin parah dan keluarga, tetangga semua histeris membacakan yakin.
Lalu, bapak sadar dan berujar "Iki piyeleh, kok ngene rasane, gowo rumah sakit wae". Setelah beliau bilang demikian, saya, ibuku, Pak Lek Zawi, Bu Lek Dah, dek Nila, dan Pak De Luri mengantarnya ke rumah sakit. Rencananya ke KSH Pati.
Sesampainya di Kajen, kondisi makin parah. Badan dingin, ambekan kempis-kempis, kami di mobil menuntunnya membaca "Allah, Allah, Allah" tak henti-hentinya.
Sesampainya di Runting, kami memutuskan membawanya ke RAA Swondo dan langsung belok kiri ke IGD RAA Swondo. Usai masuk ke IGD, sebelum masuk, aku bilang ke ibuku. "Buk, mangke aku wangsul, ngantar Dian, sesuk rapotan. Bakdo ngantar, mangke mriki maleh". "Yo, le, ati-ati" pesan ibuku.
Hanya beberapa menit, ya, hanya beberapa menit, Nila ke luar, karena aku, Lek Zawi dan De Luri menunggu di luar, Nila bilang "Dade wes gak ono". Ini pukul 10.35 WIB
Aku lari masuk, mak tratap rasanya. Dan, aku segera ngabari rumah. Sampai akhirnya, bapakku dibawa ke rumah dan disemayamkan. Untuk terakhir kalinya, aku melihat fisikmu, aku hanya bisa membopongmu, memandikanmu, menziarahimu, Pak.
Pejuang Desa
Bapak kecil, hingga remaja bahkan sampai tua, dikenal sebagai pejuang. Ya, seingatku, bapakku pernah jadi Ketua IPNU Dukuhseti selama dua periode. Juga Ketua GP Ansor Dukuhseti dua periode juga. Bapakku juga Ketua Yayasan Jamaah Pasrah, guru MI dan SMK, Kaur Kesra Desa Dukuhseti, pernah Ketu LKMD, pengurus Jamaah Pengamal Manaqib Jawahirul Ma'ani, Tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah, Ketua Pengurus Makam Mbah Brojoseti Singo Barong. Terakhir, bapakku menjadi Pengurus Ranting NU Dukuhseti.
Bapakku, yang kukenal, tidak banyak omong. Tapi, sedikit omong banyak kerja. Tirakatnya tinggi. Sejak aku kecil, hingga kemarin menjelang meninggal dunia pun, bapakku masih istikamah puasa Senin-Kamis. Aku tak bakalan bisa menirunya.
Aku pun bersaksi, bapakku orang baik. Ia menjadi kiai desa dengan mengasuh Musala Nurussalam, menjadi khatib di Masjid Darul Islah Dukuhseti, dan masjid-masjid yang lain. Mengisi pengajian, tahlilan, burdahan, dan segala tradisi Islam di mana-mana. Waktunya habis untuk umat.
Saat Mas Kades Dukuhseti Ahmad Rifai, MH memberi sambutan sebelum jenazah diberangkatkan pun berkata "Pak Ngalimun puniko pejuang. Sosok ingkang peduli kaleh masyarakat. Kulo nyekseni piyambak," kata Mas Kades.
Kiai Muslim Assalamy Alhafiz pun, sebagai kiai, MUI, Wakil Ketua LBM NU pun menyaksikan bapakku di dan publik saat memberi mauidah hasanah. "Pak Ngalimun puniko, rencang ngaji, turon, teng Masjid Alwaqor Kedawung. Piyambake senior, kulo yuniore. Kulo paham, Pak Ngalimun niki nggeh tiyang ingkang manfaat kagem masyarakat sampai sak meniko," kata Kiai Muslim.
Aku pun menyaksikan, jika dihitung mungkin ada seribu lebih orang yang takziah. Dari siang hingga malam hari, parkiran di depan Musala Nurussalam depan rumah, full. Orang datang, pergi, datang dan pergi silih berganti.
Tak hanya dari Pati, mereka datang dari Jepara, Blora, Semarang, Kudus, Demak, Lamongan, hingga teman-teman kampus dari LP Ma'arif PWNU Jateng juga ke sini. Unsur-unsur dari Bakdo TPQ, NU, Muslimat, Fatayat, Yayasan Jamaah Pasrah, SMK JAPA, Pemerintah Desa Dukuhseti, juga takziah. Sampai tahlilan pun, ada sekitar 1000 an orang, baik bapak-bapak maupun ibu-ibu. Dan, yang aku suka, yang mimpin tahlil Ketua Ranting NU Dukuhseti Kiai Islahuddin sampai ketujuh harinya. Mungkin itu secuil bukti, bahwa jenengan tiyang sae.
Jenengan meninggal juga tepat hari Kamis, menjelang malam Jumat. Kata kiai-kiai, orang yang meninggal hari Kamis atau Jumat itu orang baik. Semoga saja demikian.
Tapi, apa lah arti itu semua. Bapak sudah tiada. Beliau menempuh pendidikannya di MI, MTs, MA Manahijul Huda Ngagel Dukuhseti. Meski hidup di desa, bapak adalah sarjana lulusan Unwahas Semarang.
Semoga amal ibadahmu diterima Allah Swt, Pak. Semoga anakmu ini dapat meneruskan perjuanganmu. Aku juga kaget, hadiah ulang tahunku ke-30 ini harus kehilanganmu untuk selamanya.
Tapi, ini adalah kehendak Allah. Semua akan kembali pada-Nya. Dari anakmu yang paling nakal, semoga dapat meneruskan perjuangamu.
Bapak terbiasa memandikan, ngulesi, mengafani, mengazani, mentalkin, menahlilkan mayit, kini beliau lah yang dimandikan, diulesi, dikafani, diazani, ditalkin, ditahlilkan.
Selamat jalan, Pak. Semoga khusnul khatimah.
Dukuhseti, 24 Juni 2020
Hamidulloh Ibda
0 komentar:
Post a Comment