Judul Video : Filsafat Bagian 1, by Marsigit, Thuersday 17 Okt 2019
Narasumber : Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan Sekolah Dasar
Nama : Hamidulloh Ibda
Sumber Url : https://www.youtube.com/watch?v=8t3lalvQbiQ
Sebuah pemikiran, manusia sangat membutuhkan filsafat. Dalam kontesk filsafat, hidup manusia adalah metafisik karena setelah yang ada masih ada lagi. Sebelum yang ada masih ada lagi, terus dan terus dan tidak akan selesai. Maju tidak selesai dan mundur tidak selesai. Mengapa? Sebab manusia tidak sempurna.
Mengapa manusia tidak sempurna? Supaya manusia bisa hidup. Sebab, kalau manusia sempurna ia tidak bisa hidup. Jadi manusia itu sempurna itu di dalam ketidaksempurnaan dan tidak sempurna di dalam kesempurnaan.
Kemudian awal dari segala macam kegiatan, sifat, dalam diri manusia adalah namanya fatal dan vital. Apakah fatal itu? Fatal adalah terpilih? Apakah terpilih itu? Terpilih adalah takdir. Seperti contoh ketika saya mengambil benda berwarna putih, warna putih ini adalah takdir. Mengapa disebut takdir? Karena sudah terjadi.
Kemudian vital. Apakah vital itu? Vital adalah memilih. Apakah memilih itu? Memilih itu adalah ikhtiar. Jadi simpulannya fatal-vital, memilih dan ikhtiar. Kemudian dari situ muncul metafisiknya. Apa itu metafisik? Metafisik itu sifat di balik sifat. Sifat mendahului sifat. Sifat mengikuti sifat. Sifat mempunyai sifat.
Maka sebenar-benar manusia adalah sifat mendahului sifat, sfat mengikuti sifat, dan sifat mempunyai sifat. Contoh sifat di sini adalah sifat tetap. "Saya tidak bisa mengubah takdir bahwa yang terpilih tadi adalah benda berwarna putih". Itu sudah terjadi bahwa bagaimana pun juga sudah tercatat. Sudah terjadi itulah suratan takdir.
Manusia mana yang bisa mengubah takdir? Bahwa benda yang terpilih tadi adalah yang berwarna putih. Malaikat pun tidak bisa mengubahnya. Itulah kuasa Tuhan. Maka siapapun saja tidak bisa mengubah takdir ketika sudah "kun fayakun". Ketika salah satu hilang dari fatal atau vital tadi, maka tidak ada kehidupan.
Dari ilustrasi ini sebenarnya kita sudah berfilsafat. Misal kita menulis tetap jika ditambah isme ya menjadi tetapisme, berubahisme.
Ada juga idealisme dan realisme. Itulah dunia filsafat. Misal kita ke toko sepatu ya kita bicara ukurannya, harganya. Kalau ngomong yang lain ya tidak nyambung. Itulah kecerdasan daalam filsafat karena tahu ruang dan waktu. Sedangkan orang bodoh tidak mengerti ruang dan waktu.
Kemudian di atas ideal ada absolutisme dan spiritualisme, terua kuasa Tuhan atau kausa prima. Kausa prima adalah sebab dari semua sebab. Di bawah realisme semakin ke bawah kita bertemu dengan materialisme, bendaisme.
Kalau diawali dari defisini, ketetapan awal atau asumsi, di bawah adalah contoh. Kemduian diteruskan dari yang tetap, fatal, yang terpilih, jalannya adalah logika (logicism). Yang di bawah, berubha, vital, memilih adalah hukum alam (sunnatullah).
Logika itu apa? Logika adalah koheren, sedangkan di bawah adalah korespondensi. Apakah yang yang berkorespondensi? Realita, fakta, dan persepsi. Saya mencontohkan, wanita, perempuan. Memakai logika dan keherensi itu sudah paham. Kemudian setelah logika, koherensi adalah analitik. Kemudian di bawah adalah sintetik.
Maka wanita, perempuan, melahirkan itu satu rumpun. Tidak ada orang yang bertanya apakah bapak-bapak pernah melahirkan?
Filsafat adalah seperti itu, bisa dipahami melalui kalimat yang terukur. Kebanyakan orang tidak menguasai masalah karena tidak menguasai dunianya, termasuk bahasanya, bahasa itu dunia. Setelah konsisten adalah aksioma dan teori. Aksioma itu ketentuan-ketentuan umum yang bisa dipahami. Kemudian di bawahnya adalah bayangan. Di atas langitnya, di bawah buminya. Kalau di atas dewanya, di bawah daksanya.
Kemudian di atasnya adalah aturan atau hukum, dan hukum yang penting adalah aturan Tuhan, dan di atasnya itu adalah formal dan di bawah material. Semua deratan di ini adalah alat untuk berselancar dalam berfilsafat.
Semua yang di atas adalah apriori, dan di bawah adalah aposteriori. Apriori itu paham walaupun belum melihat. Seperti contoh ketika anak berkomunikasi dengan ayahnya. "Bapak nanti bisa menjumpai calon saya. Namanya ini, umurnya segini, pekerjaannya ini, orang tuanya rumahnya mana. Bapak mau ke sana menengok? Oh tidak perlu!" Jadi walaupun belum berjumpa bapak sudah paham. Itu namanya apriori. Sebaliknya, ini datanya, ini rumusnya, kemudian bapak berkata "kamu ini bicara seperti burung betet. Aku tidak percaya sebelum aku melihatnya". Berarti bapakmu itu alirannya aposteriori.
Kalau binatang kebanyakan aposteriori. Seperti contoh kucing kalau ada tikus lewat, itu ekornya gerak-gerak. Anak-anak juga seperti itu. Kalau orang dewasa kebanyak sudah apriori.
Aposteriori itu levelnya anak-anak, binatang, dan benda, dan didasarkan pada pengalaman. Jadi pengetahuan yang jenis ini didasarkan pengalaman, fenomena satu kepada peristiwa berikutnya. Dikarenakan pengalaman, munculllah empirisme. Sedangkan yang apriori adalah rasionalisme.
Dalam konsep / teori, yang bawah adalah Heraclitos, yang berpendapat segala sesuatu bisa berubah. Sedangkan yang atas alirannya Parmenides yang berpendapat segela sesuatu itu tetap. Filsafat adalah seperti itu, bisa dipahami melalui kalimat yang terukur. Kebanyakan orang tidak menguasai masalah karena tidak menguasai dunianya, termasuk bahasanya, bahasa itu dunia.
Setelah konsisten adalah aksioma dan teori. Aksioma itu ketentuan-ketentuan umum yang bisa dipahami. Kemudian di bawahnya adalah bayangan. Di atas langitnya, di bawah buminya. Kalau di atas dewanya, di bawah daksanya. Kemudian di atasnya adalah aturan atau hukum, dan hukum yang penting adalah aturan Tuhan, dan di atasnya itu adalah formal dan di bawah material. Semua deratan di ini adalah alat untuk berselancar dalam berfilsafat.
Semua yang di atas adalah apriori, dan di bawah adalah aposteriori. Apriori itu paham walaupun belum melihat. Seperti contoh ketika anak berkomunikasi dengan ayahnya. "Bapak nanti bisa menjumpai calon saya. Namanya ini, umurnya segini, pekerjaannya ini, orang tuanya rumahnya mana. Bapak mau ke sana menengok? Oh tidak perlu!" Jadi walaupun belum berjumpa bapak sudah paham. Itu namanya apriori. Sebaliknya, ini datanya, ini rumusnya, kemudian bapak berkata "kamu ini bicara seperti burung betet. Aku tidak percaya sebelum aku melihatnya". Berarti bapakmu itu alirannya aposteriori.
Kalau binatang kebanyakan aposteriori. Seperti contoh kucing kalau ada tikus lewat, itu ekornya gerak-gerak. Anak-anak juga seperti itu. Kalau orang dewasa kebanyak sudah apriori.
Aposteriori itu levelnya anak-anak, binatang, dan benda, dan didasarkan pada pengalaman. Jadi pengetahuan yang jenis ini didasarkan pengalaman, fenomena satu kepada peristiwa berikutnya. Dikarenakan pengalaman, munculllah empirisme. Sedangkan yang apriori adalah rasionalisme.
Dalam konsep / teori, yang bawah adalah Heraclitos, yang berpendapat segala sesuatu bisa berubah. Sedangkan yang atas alirannya Parmenides yang berpendapat segela sesuatu itu tetap. Untuk Kuasa Tuhan itu esa, maka lahirlah monisme. Jadi yang percaya Tuhan itu satu/esa, filsafatnya adalah monoisme. Sedangkan yang di bawah adalah jamak itu pluralisme. Yang percaya dua, adalah dualisme. Jadi Pancasila itu mono dualisme.
Dalam konteks ini mucullah tokoh bernama Immanuel Kant. Sebelum Immanuel Kant, tokoh rasionalisme itu René Descartes, selain rasionalisme, ia juga tokoh skeptisisme. Sebenarnya, filsafat itu mengalir, karena skeptisisme itu sudah ada sejak zaman Yunani Kuna ((abad ke-8 sampai abad ke-6 SM) sampai berakhirnya Abad Kuno). Lalu ditentang oleh empirisisme David Hume.
Zaman dulu seru itu pertentangannya, kayak Pilpres kemarin. Oh neraka-neraka, oh surga-surga, seru sekali. Namun sekarang bubar, mudah-mudahan tidak ada lagi kampret dan cebong. Descartes itu skeptisnya luar biasa. Pada saat musim dingin di sana, ia tidak bisa membedakan benda-benda. Sampai-sampai, ia meragukan keberadaan Tuhan. Akhirnya ia menemukan satu kunci yang tidak bisa dibantah. Maka ketemulah, aku tidak bermimpi karena aku tidak berpikir. Cogito ergo sum adalah sebuah ungkapan yang diutarakan oleh Descartes, sang filsuf ternama dari Prancis. Artinya adalah “aku berpikir maka aku ada”.
Jadi sebenar-benarnya ilmu, menurut Descartes harus berdasarkan rasio, pikiran. Kalau tidak ada pikiran tidak ada ilmu. Namun ini ditentang oleh David Hume tadi. Sebenarnya-benar kamu berpikir, kalau belum mengalami ya belum benar.
Maka muncul aliran tengah, yaitu Immanuel Kant, yang menyatakan perwakilan langit dan bumi. Langit itu apriori, dan bumu itu sintetik yang ini ditulis di bukunya Kant.
Kemudian setelah ini mucullah zaman modern dalam filsat itu munculnya setelah pertarungan antara Descartes dengan Hume tadi. Setelah itu kemudian berkembang-berkembang, lalu muncullah tokoh bernama Auguste Comte yang meninggal pada 1857. Mengapa saya ingat? Karena 100 tahun kemudian saya lahir.
Namun saya mengajak istighfar bagi yang Islam dengan kyusu sebanyak lima kali. Mengapa demikian? Karena menurut dia, agama tidak bisa membangun dunia karena agama tidak logis. Hal itu ada di dalam buku Positivisme. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Ia menempatkan teori membangun dunia dengan menempatkan spiritualisme itu berada di paling bawah. Agam ditaruh di paling bawah, kemudian metafisik, di atasnya metode positif.
Saya jadi teringat dongengnya Resi Gotama yang seolah-olah mengutuk Comte. Jika Comte hanya berteori, namun era saintifik dan teknologi saat ini justru kita melebihi dari apa yang dilakukan Comte. Karena teknologi itu positifnya membawa kesejahteraan, namun negatifnya adalah melahirkan kemunafikan. Seperti contoh guru besar luar negeri yang pernah obervasi ke FMIPA UNY dan bertemu saya itu.
Maka dalam konteks ini, ada archaic, terus tribal, atasnya tradisional, kemudian feodal, lalu modern, lalu postmodern/power now/kontemporer. Saat ini keadaanya demikian, dan ini dibackup kapitalisme, materealisme, pragmatisme, utilitarian, dan liberalisme. Sementara itu, di Indonesia itu ada Pancasila, ada sila 1 sampai sila ke 5. Semua itu digempur sejak dulu ada PKI, kemudian digempur melalui internet, digempur pula dari kanan dengan sistem khilafah mau mengganti NKRI, Pancasila, kondisinya demikian Di akhir sesi, Prof Marsigit mengajak mahasiswa untuk menjadikan filsafat sebagai jalan memperkuat ketuhanan dan kebangsaan. (*)
0 komentar:
Post a Comment