Hamidullohibda.com – “Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang-orang lain pandai.” — Pramoedya Ananta Toer
Qoutes "Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap
yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang-orang
lain pandai" merupakan sebuah refleksi tajam dari Pramoedya Ananta Toer
tentang sifat dasar manusia. Di balik kalimat yang sederhana ini, tersimpan
makna yang kompleks mengenai persepsi diri, intelegensi, dan hubungan antar
manusia.
Pramoedya Ananta Toer, salah satu sastrawan terbesar
Indonesia, memiliki kemampuan luar biasa untuk menangkap esensi dinamika sosial
melalui kata-kata sederhana namun penuh makna. Kutipan di atas mengungkapkan
refleksi tajam tentang perilaku manusia dalam interaksi sosial, terutama
terkait persepsi diri dan orang lain.
Kajian mendalam tentang makna dan relevansi kutipan ini beragam.
Pertama, kesombongan
orang pandai. Pramoedya menunjukkan bahwa salah satu kelemahan
yang sering dimiliki oleh orang-orang pandai adalah kesombongan intelektual.
Mereka cenderung meremehkan kemampuan atau pengetahuan orang lain. Pandangan
seperti ini tidak hanya merusak hubungan sosial, tetapi juga membatasi
kemampuan orang pandai untuk belajar dari pengalaman dan perspektif yang
berbeda. Dalam kehidupan bermasyarakat, sikap merendahkan orang lain dapat
menciptakan jarak dan memunculkan konflik yang tidak perlu.
Ketika Pramoedya menyebut "kesalahan orang-orang
pandai", ia tidak hanya merujuk pada mereka yang memiliki kecerdasan
intelektual tinggi. "Pandai" dalam konteks ini lebih kepada mereka
yang merasa memiliki pengetahuan lebih dibandingkan orang lain. Keunggulan ini
seringkali memicu sikap sombong dan menganggap remeh orang yang berbeda
pendapat atau memiliki latar belakang yang berbeda.
Orang yang merasa pandai seringkali terjebak dalam asumsi
bahwa mereka selalu benar. Mereka cenderung meremehkan pendapat orang lain,
menganggapnya sebagai sesuatu yang kurang bernilai. Sikap sombong ini membuat
orang sulit untuk berempati dengan orang lain. Mereka tidak berusaha untuk
memahami perspektif yang berbeda dan cenderung menghakimi.
Kedua, kebergantungan orang bodoh. Sebaliknya,
orang yang merasa tidak memiliki pengetahuan atau keahlian cenderung menganggap
orang lain jauh lebih pandai daripada mereka. Sikap ini sering kali berujung
pada ketergantungan berlebihan dan ketidakmampuan untuk berpikir kritis. Orang
yang selalu menganggap orang lain lebih pandai mungkin kehilangan kepercayaan
diri untuk menggali potensi mereka sendiri dan cenderung menerima segala
sesuatu tanpa pertimbangan yang matang.
Sebaliknya, "orang-orang bodoh" dalam kutipan ini
bukan berarti mereka benar-benar tidak memiliki pengetahuan. Lebih tepatnya,
mereka adalah orang yang meremehkan kemampuan diri sendiri dan menganggap orang
lain lebih pintar. Orang yang merasa bodoh seringkali terlalu rendah diri.
Mereka ragu untuk mengungkapkan pendapat atau ide-ide mereka karena takut
dianggap bodoh. Ketakutan akan penilaian negatif membuat mereka cenderung
mengikuti pendapat orang lain tanpa berpikir kritis.
Ketiga, pentingnya kesadaran diri. Kutipan ini
mengajarkan pentingnya memiliki kesadaran diri dan sikap rendah hati. Orang
yang pandai perlu memahami bahwa pengetahuan mereka tidak absolut dan ada
banyak hal yang bisa dipelajari dari orang lain, terlepas dari latar belakang
atau tingkat pendidikan mereka. Demikian pula, orang yang merasa kurang pandai
harus menyadari bahwa mereka memiliki kemampuan untuk belajar dan berkembang,
sehingga tidak perlu sepenuhnya bergantung pada orang lain.
Keempat, konteks sosial dan budaya. Dalam konteks
masyarakat, kutipan ini relevan untuk mengkritik hierarki sosial yang sering
kali didasarkan pada tingkat pendidikan atau status ekonomi. Orang-orang yang
berada di puncak hierarki cenderung memandang rendah mereka yang berada di bawah,
sementara mereka yang di bawah sering kali mengagungkan orang-orang di atas
tanpa menyadari bahwa setiap individu memiliki kekuatan dan kelemahan
masing-masing. Kutipan ini menekankan pentingnya kesetaraan dan saling
menghormati dalam hubungan antarmanusia.
Kelima, relevansi di era modern. Di era digital, di
mana informasi begitu mudah diakses, kutipan ini menjadi semakin relevan.
Banyak orang dengan mudah menganggap diri mereka lebih pandai karena memiliki
akses ke banyak informasi, tetapi sering kali gagal memahami kedalaman atau
konteks dari pengetahuan tersebut. Di sisi lain, ada orang yang merasa minder
karena membandingkan dirinya dengan orang lain yang terlihat lebih sukses atau
terdidik di media sosial. Kedua sikap ini berpotensi menciptakan ketidakseimbangan
dalam hubungan sosial.
Kutipan Pramoedya Ananta Toer ini mengajak kita untuk
merenung tentang bagaimana kita memandang diri sendiri dan orang lain. Dengan
memahami makna di balik kata-katanya, kita dapat berusaha untuk menjadi pribadi
yang lebih baik dan membangun hubungan yang lebih harmonis dengan sesama.
Kutipan Pramoedya Ananta Toer ini mengajarkan kita untuk
tidak terjebak dalam kesalahan persepsi tentang diri sendiri dan orang lain.
Baik orang pandai maupun orang bodoh memiliki potensi untuk melakukan kesalahan
dalam menilai, dan tugas kita adalah mencari keseimbangan antara rasa percaya
diri dan kerendahan hati. Dengan memahami dan menghormati satu sama lain, kita
dapat membangun masyarakat yang lebih inklusif dan penuh penghargaan terhadap
keberagaman kemampuan manusia.
0 komentar:
Post a Comment